RSS

28 December

28 desember.
Whaaaaaaaaaaa ga terasa gue udh pacaran satu tahun sama uyo buncit >.< senangnyaaaa:> harus gue akui, ternyata pacaran itu ga semudah apa yg gue bayangkan selama ini. Hmmmm jujur, sebelumnya gue ga pernah pacaran. Bahkan ga kepikiran untuk pacaran. Awalnya, karena gue keseringan nonton FTV makanya gue rada ga percaya kalau bakalan ada orang lawan jenis yg bakalan suka sama suka. Watashi bakana:$ ya maklum, dulu gue orangnya polos:>
Okay back to the topic. Di Anniversarry gue 1tahun ini, uyo ngajakin gue ke puncak untuk ngeliat sunset (whaaaaaa romantisnyaaa:>). Awalnya sih dia cuma bilang mau ngajakin ke sesuatu tempat hari sabtu nanti, tp karna gue penasaran makanya gue tanyain terus hari sabtu kita mau kemana. Dan akhirnya (mungkin ga tahan karena gue bawel, hahahaha X)) dia bilang mau ngajakin gue ke puncak buat ngeliat sunset di paralayang. Hahahaha. Baka. Jadi ga surprise deh. Tapi gapapa, gue tetep seneeeeenggggggg banget deh. Walaupun sebenernya gue ga liat sunset-_-
Berangkat dari siang jam 2. Sampe sono kira-kira jam 4 sore, kita makan dulu buat ngabisin waktu. Dan asal kalian tau, dari awal berangkat sampe udah sampe puncak tuh gerimis terus. Jadinya di sana makin dingin T.T udah gitu mendung terus, sunsetnya ga keliatan:( dan karena kita kedinginan, akhirnya milih pulang aja, sekalian takut kemaleman juga. Awalnya sih perjalan pulang biasa-biasa aja, walapun masih tetep gerimis dan tetep dinginT.T sampe pada akhirnya matahari mulai tenggelam, jalanan mulai gelap, dan untuk jalan yg kita lewatin tuh jarang ada lampunya, ditambah lagi jalanannya ancur berlubang, becek dan licin karena seharian ujang terus, udah gitu pengendara yg lewat situ sedikit banget!! Suasananya mencekam banget kalau gue inget-inget:$ di saat gelap-gelap gitu, cuma bisa ngandelin lampu tembak dr motor. Ga berapa lama kemudian, kita nemu ada pengendara motor jauh di depan kita, trus spontan uyo tambah ngebut buat ngejar motor depan, katanya "biar ada yg buka jalan".
Dan kalian tau ga sih rasanya naik motor dengan kecepatan tinggi, jalanan becek dan berlubang, trus banyak banget belokannya? Sumpah gue deg-degan abis. Berasa mau copot nih jantung. Tapi gue ga bilang ke uyo kalau gue takut, gue tutupin rasa takut gue dengan mencoba ngobrol dan cerita cerita. Lumayan efektif walaupun gue tetep pegangan kenceng sama uyo. Hehehe.
Udah ya sampe sini dulu ceritanya, gue udah ngantuk. Inti dari cerita ini sih sebenernya cuma mau ngasih tau, Aku sayang banget sama uyo♥ sayangsayangsayang♥ love you so much dear:* makasih banyak ya udah ngasih banyak banget pengalaman di kehidupan aku. Udah ngasih banyak warna di kehidupan aku. Makasih juga selama ini udah mau aku repotin, walaupun aku galak, tukang ngambek, ngeselin, suka iseng, cengeng, manja, tapi kamu tetep mau sayang sama aku. Makasih banyak dear:* semoga aku masih bisa ngerasain anniversarry selanjutnya, selanjutnya, selanjutnya, selanjutnya, dan seterusnya sama kamu♥ i love you:*({})
Btw aku masih penasaran sama sunsetnya:p kapan-kapan ke sana lagi yah;p

Benda Peninggalan Bersejarah di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Garut


Candi Cangkuang
Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harosoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Voderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu besar yang merupakan peninggalan agama Hindu, kira-kira pada abad ke-8 Masehi.
            Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7x4,7 m dengan tinggi 30cm. kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5x4,5 m dengan tinggi 1,37m. di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lebar 1,26m. tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22x4,22m dengan tinggi 2,49m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8x3,8m dengan tinggi 1,56 dan 2,74x2,74 m yang tingginya 1,1m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 3,8x3,8 m dengan tingginya 2,55m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4x0,4m yang dalamnya 7m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).
            Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang yang datar alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan   kaki kiri terdapat kepala kerbau (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah Arca Siwa. Kedua tangannya mengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada, dan penghias telinga. Keadaan arca ini umumnya sudah rusak, wajahya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. [1]
Dari sini sedikitnya dapat diambil kesimpulan apabila agama yang dianut oleh masyarakat pada abad ke VIII berdasarkan hitungan arkeometrik tentang usia candi adalah beragama hindu bermadzhabkan siwa. Arca itu sendiri memiliki ketinggian 40 cm, namun setelah alas kaki dari arca tersebut di semen agar menyatu dengan lantai ruangan, maka tinggi arca karena alas an semen itu menjadi sekitar 60 cm. Di bawah arca tersebut terdapat sebuat sumur dengan kedalaman antara 5-7 m. Sumur tersebut sebagaimana halnya fungsi candi-candi pada jaman dahulu adalah untuk menguburkan abu jenazah pembesar kerajaan. Sayangnya arca yang juga berbahan baku batuan andesit itu kini sudah sedikit rusak, terhitung empat kali sejak pemugaran pernah patah bahkan mengakibatkan kedua lengan arca yang patah hilang tanpa jejak.
Maka untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pada 1999 mulai digunakan jeruji besi di pintu masuk sehingga orang tidak lagi bias masuk keruangan Candi Cangkuang pun untuk menyentuh arca tersebut. Ini menjadikan candi cangkuang sebagai satu-satunya bangunan candi yang memiliki jeruji besi.[2]

Kertas daulang
Daluang adalah kain atau kertas dari kulit pohon-pohonan.[3] Daulang mungkin belum dikenal sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal daluang telah menjadi barang yang diminati negara lain.Bahkan harga daluang sangat tinggi karena kekuatannya yang bisa mencapai ratusan tahun. Di museum Situ Cangkuang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, setiap pengunjung akan diberi tahu cara membuat daluang.
Daluang pasti masih asing terdengar. Daluang, atau dluwang dalam bahasa Jawa, merupakan kertas yang berasal dari pohon saeh. Naskah-naskah kuno seperti Alquran dan naskah khutbah Idulfitri yang berada di museum Situ Cangkuang menggunakan daluang sebagai bahan bakunya. Naskah yang sudah berumur ratusan tahun tersebut hingga kini masih terjaga keasriannya. Bahkan tulisan di daluang masih bisa terbaca.

Pohon yang tak bercabang dengan diameter tak lebih dari 20 sentimeter itu diambil bagian kulitnya untuk dijadikan bahan kertas. Koordinator juru pelihara Situ Cangkuang, Zaki Munawar, mengatakan, pohon saeh yang bisa menjadi bahan baku kertas biasanya yang telah berumur satu sampai dua tahun. Jika pohon terlalu tua, akan sulit untuk dijadikan kertas. “Orang dari Amerika dan Jepang banyak yang memesan daluang ini. Soalnya kekuatan kertasnya lebih bagus daripada kertas pada umumnya. Kertas nasional Nusantara daluang ini memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuatnya,” ujar Zaki di site museum Situ Cangkuang, Senin (2/6).

Proses pembuatan daluang masih dilakukan secara tradisional. Jika memerlukan kertas dengan ukuran 30 sentimeter, pohon saeh yang digunakan pun berukuran 30 sentimeter. Sebelum diambil bagian kulitnya, pohon saeh terlebih dahulu direndam selama tiga hari. “Setelah direndam lalu dipukul-pukul hingga melebar menjadi kertas. Nantinya pohon yang sudah dipukul-pukul itu harus direndam kembali dengan dibungkus daun pisang selama empat sampai enam hari untuk menutup bagian kertas yang bolong,” katanya.[4]

 Kitab doa selamat
Naskah Ini menggunakan alas tulis daulang dan menggunakan aksara Arab dan Pegon. Kitab ini berisikan tentang

Makam embah dalem Arif Muhammad
Candi Cangkuang dibangun pada zaman kerajaan Sunda pertama yaitu Kerajaan Galuh. Di dekat candi ada makam peninggalan penganut agama Islam, yaitu Arief Muhammad/Maulana Ifdil Hanafi. Dia salah seorang tentara kerajaan Mataram dari Jawa Tengah yang pergi menyerang belanda di Batavia pada abad ke 17. Penyerangannya gagal, dia tidak kembali, tapi menetap di Cangkuang mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitarnya, tepatnya di kampung Pulo tempat keturunannya menetap sampai saat ini.[5]

 Naskah Al-Qur’an
Salah satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x 33 cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak memiliki penomoran halaman. Al-Quran yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua warna tinta, yaitu hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut Jiji Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat buah manggis. Namun Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz. Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12 kuras dan memiliki 143 halaman.
Naskah berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya penuh lubang kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya tidak terbaca. Hal tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang, termasuk Al-Quran ini, masih belum dirawat secara intensif. Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.[6] 

Naskah Tauhid
Naskah ini berjudul “Tauhid dan Fiqh” dengan menggunakan bahasa dan aksara arab. Ukuran naskah ini 30cm x 24cm dan mempunyai ukuran teks 20cm x 14cm serta memiliki ketebalan yaitu 98 halaman. Naskah ini sama dengan naskah yang sebelumnya, menggunakan kertas daulang dan saat ini di simpan di museum Candi Cangkuang, Garut. Keadaan fisik naskah ini juga bolong-bolong, sebagian teksnya tidak terbaca, serta jilidnya terlepas. Naskah ini mempunyai ikhtisar isi sebagai berikut, yaitu menjelaskan tentang beberapa pengertian kata iman dan rukun iman. Pada bab lain dijelaskan tata cara melaksanakan ibadah  shalat, puasa dan haji. [7]

Naskah Sharaf
Naskah ini berjudul “Nahwu san Sharaf” yang menggunakan bahasa dan aksara Arab dan Pentagon. Naskah ini mempunyai ukuran 23cm x 15cm dengan ukuran teks 15cm x 9cm dan mempunyai tebal naskah sebanyak 33 halaman. Bahan naskah tersebut berasal dari kertas daulang. Sampai saat ini, naskah ”Nahwu san Sharaf” ini di simpan di museum Candi Cangkuang, lebih tepatnya letak museum tersebut adalah kurang lebih 5 meter dari Candi Cangkuang. Keadaan naskah saat ini kertasnya bolong-bolong, kemudian sebagian teksnya tidak terbaca dan jilidnya lepas. Dan yang terakhir Ikhtisar isi naskah ini adalah tentang uraian tentang shigat, pembagian isim, kata kerja, dan huruf.[8]

Rumah Adat dan Masjid
Salah satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan di Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal ketujuh anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara. Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang berhadapan dengan halaman luas yang membelah deretan rumah tersebut. Setiap rumah memiliki ruangan yang sama: serambi, satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.
Kini, ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai anak laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah keturunan Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.
Keunikan lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Setiap rumah hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga. Artinya, apabila ada anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka ia harus segera meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua minggu. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal.


[1]  Mengenal Candi-candi Nusantara, Thomas Wendoris, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2008 hlm. 15-16
[3] KBBI
[4] https://id.berita.yahoo.com/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-094406076.html.
[5] http://ramadan.liputan6.com/read/636847/cangkuang-candi-hindu-dengan-makam-pemuka-islam-di-dekatnya
[6] http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/07/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-amerika
[7] http://bsa.uinsgd.ac.id/?p=84
[8] Ibid,.