RSS

Peran Gerakan Organisasi Sosial Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute

Shofi Muthia Syar’ie
1113111000032
Mahasiswa FISIP UIN Jakarta

ABSTRACT. This paper tries to explain the social movement organizations freedom of religion Indonesia, which is of social movement organizations The Wahid Institute pioneered by K.H Abdurrahman Wahid. The purpose explanation is to review the policy of freedom of religion and the role of social movement organizations The Wahid Institute to society in Indonesia. It also describes the basic elements of social movement organizations The Wahid Institute.
Keywords. Social Movement Organizations, Freedom Of Religion, The Wahid Institute, Pluralism, Toleransi, And  Basic Elements Of Social Movement Organizations
Pendahuluan
Salah satu elemen penting pembentuk kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah etnis dan agama. Di indonesia sendiri memiliki ciri ciri masyarakat yang majemuk, karena dapat dilihat dari adanya berbagai etnis dan agama yang ada di Indonesia. Khususnya hubungan antarumat beragama di Indonesia selalu menunjukkan hubungan yang dinamis. Kadang hubungan tersebut berbentuk kerjasama dan tidak jarang pula berbentuk konflik. Meskipun saat ini Indonesia terlihat saling menghormati antar agama, namun masih banyak yang melakukan diskriminasi agama, khususnya untuk beragama di indonesia.
            Berikut adalah 5 agama yang resmi di Indonesia yang tercatat dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Tapi, tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.[1]
Namun, konflik berkaitan dengan beragama masih saja terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Fenomena di atas menunjukkan bahwa adanya kesenjangan antara agama satu dengan agama yang lainnya, serta masih kurangnya rasa toleransi beragama dalam masyarakat Indonesia. Karena masih adanya rasa tidak mentoleransi beragama, maka munculah oraganisasi gerakan sosial di Indonesia yang bernama ‘The Wahid Institute’ yang dipelopori oleh K.H Abdurrahman Wahid. Paper ini mencoba menjelaskan peran gerakan organisasi sosial The Wahid Institute terhadap rasa toleransi masyarakat Indonesia dalam hal beragama.
Gerakan Organisasi Sosial
Dalam A Dictionary of Sociology, definisi gerakan sosial adalah “upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk merubah atau ‘menolak’ perubahan yang terjadi dalam salah satu sendi –atau beberapa sendi– kehidupan masyarakat”.[S2] [2] Sedangkan menurut McCharity dan Zald mendefinisikan organisasi gerakan sosial sebagai “sesuatu yang kompleks, atau organisasi formal yang mengindentifikasi tujuan dengan preferensi gerakan sosial atau counter movement (langkah/ tindakan) dan upaya untuk menerapkan tujuan mereka. Atau dengan kata lain yaitu adalah organisasi yang formal dan terstruktur”.[3]
Tipe-Tipe Gerakan Sosial. Berikut adalah dua tipe tipe gerakan organisasi sosial menurut Doherty 1999; Wall 1999; Drury et al. 2003[4]:
1.      Organisasi Sosial Profesional
Ada 4 karakteristik organisasi gerakan sosial yang profesional, yaitu:
1.         Pemimpinannya memberikan waktu yang penuh untuk gerakannya
2.         Dokumen keanggotaan
3.         Mencoba untuk memberikan citra/pandangan tentang “speaking for a constituency”.
4.         Upaya untuk mempengaruhi kebijakan terhadap konstituen yang sama
2.      Partisipasi Gerakan Sosial
·         Mass protest organizations
Dalam model ini partisipasi organisasi sosial mengkombinasikan antara mempertahankan demokrasi partispatoris dengan tingkat tertentu formalisasi dari suatu struktur organisasi. Bagaimanapun juga model ini lebih menekankan pada peran revolusioner profesional dan ketidakpedulian terhadap grassroot. Contohnya adalah kampanye tentang isu-isu lingkungan, kampanye menyangkut energi nuklir dan kampanye tentang toleransi kebebasan beragama.
·         Grassroots organization
Berbeda dengan mass protest organizations, model grassroot menggabungkan orientasi partisipatif yang kuat dengan yang tingkat rendah di dalam strukturasi formal. Keberadaan organisasi semacam ini tergantung pada kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan mereka. Kesediaan partisipasi mereka didorong melalui kombinasi yang berbeda dari insentif ideologis dan solidaritas. Seringkali hal ini berkaitan dengan lokalitas.
Sejarah Singkat The Wahid Institute
Berdiri sejak 7 September 2004, The WAHID Institute (WI) adalah lembaga yang berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia. Dalam berbagai programnya, WI menggelar kegiatan di lingkungan aktivis muslim progresif dan dialog-dialog di antara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan Barat.[5]
VISI. Terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sejahtera dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam. The Wahid institute berusaha memperjuangkan terciptanya dunia yang damai dan adil dengan mengembangkan pandangan Islam yang toleran dan moderat dan bekerja untuk terbangunnya kesejahteraan bagi semua manusia.[6]
MISI. (1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai dan dan toleran. (2) Mengembangkan dialog-dilog antara budaya lokal dan internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan budaya dan agama di dunia. (3) Mendorong beragam inisiatif untuk memperkuat masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah yang baik di Indonesia dalam penguatan demokrasi. (4) Mempromosikan partisipasi aktif dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog perdamaian. (5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[7]
PENDIRI. K.H. Abdurrahman Wahid. Atau biasa disapa Gus Dur, mantan Ketua Umum pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini figur penting dalam gerakan demokrasi dan pemikiran moderat di lingkungan muslim Indonesia. Bacaan dan perhatiannya amat luas, dari politik hingga humor. Seperti sebelumnya, ketika putera mantan Menteri Agama RI ini menjadi Presiden RI (1999-2001), banyak langkah penting yang diambil, terutama demi menjamin hak-hak kelompok minoritas.[8]
Selain K.H Abdurrahman Wahid yang ikut berperan penting dalam mendirikian The Wahid Institute adalah Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid ini mantan jurnalis Sidney Morning Herald dan the Age, Australia, danx Ahmad Suaedy sebagai Direktur Eksekutif Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia. [9]
Program The Wahid Institute. Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Isntitute secara konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011, menjalankan program yang berkaitan dengan gerakan oraganisasi sosial menyangkut toleransi dalam beragama, di antaranya yaitu[10]:
  • ·         Kampanye Islam Demokrasi Dan Pluralisme.
  • ·         Gerakan Kebhinekaan
  • ·         Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif
  • ·         Monitoring Isu Keagamaan
  • ·         Advokasi Kebijakan Publik Dan Minoritas
  • ·         Forum Diskusi, Seminar Dan Dialog

Salah satu kampanye yang masih berjalan saat ini adalah Pawai dan Festival Perdamaian yang diadakan pada acara Car Free day, Sarinah – bundaran HI – Imam Bonjol dengan tema “The Right of Peoples To Peace”. Kegiatan yang ada dalam kampanye ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk memiliki rasa tolelir terhadap keyakinan beragama.[11]
Elemen-Elemen Dasar Organisasi Gerakan Sosial The Wahid Institute
Peran dan Aksi: Peran Nilai. Nilai dapat mempengaruhi aktor dalam mendefinisikan tujuan spesifik, dan mengidentifikasi strategi yang efesien dan dapat diterima secara moral, terlebih lagi, nilai dapat menyediakan keperluan motivasi dalam menopang suatu gerakan.[12] Salah satu nilai yang dianut oleh The Wahid Isntitute dalam menjalan gerakan, salah satunya adalah kampanye aksi perdamaian yang diadakan pada acara Car Free Day, adalah “The Right of Peoples To Peace” atau yang dimaksud adalah bahwa “Orang yang benar adalah orang yang berdamai”.[13] Berdamai disini maksudnya adalah mempunyai rasa toleransi, serta tidak membuat perselisihan atau mendiskriminasi terhadap perbedaan agama, ras, suku, gender, dan budaya.
Budaya dan Aksi: Perspektif Kognitif. Nilai tidak selalu menopang terjadinya sebuah gerakan, namun kemampuan aktor dalam merumuskan nilai-nilai dan motivasi untuk beradaptasi dengan cara yang paling efesien untuk memobilisasi sektor tertentu (suatu gerakan muncul akibat proses berfikir dan adaptasi individu yang tidak terkungkung pada nilai-nilai tertentu). Dalam hal ini faktor nilai dikesampingkan, dan lebih berorientasi pada peran aktor yang berfikir.[14] Dalam organisasi gerakan sosial The Wahid Institue memiliki perspektif kognitif, yaitu kemampuan pendiri The Wahid Institute yang terdiri dari K.H Abdurrahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Suaedy yang ikut berperan sebagai motivasi untuk beradaptasi dengan lingkungan[15] dan dalam merumuskan nilai-nilai yang dianut oleh The Wahid Institute.
Frame dan Ideologi. Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjelaskan mentransformasikan mobiliasi potensial ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya meyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.[16] Dalam banyak kasus, frame berasal dari ideologi. Perbedaan antara ideologi dan frame tidak mencegah kita dari cara berfikir, frame mampu memberikan interpretasi yang luas dari realitas.[17]
            Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute berpijak (mempunyai dasar) pada substansiasi fiqh pluralisme agama yang bersandar pada etika dan spiritualitas dengan fundamental yang telah digariskan oleh tujuan nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarĩ’ah). Ketika realitas sosial ditandai dengan keberagaman dalam pandangan keagamaan, toleransi kebebasan beragama sebagai bagian penciptaan perdamaian menjadi penting untuk menghindari penggunaan kekerasan yang berbasis perbedaan dengan pandangan keagamaan.[18]
Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif gerakan sosial[19], yaitu:
1.        Elemen Diagnistik. Frame interpretasi menimbulkan pendefinisian terhadap masalah sosial, dalam hal ini pendiagnosisan masalah merupakan elemen penting dalam memunculkan gerakan sosial. [20] Atau dengan kata lain, elemen diagnistik adalah aktor mendiagnosis  perubahan-perubahan yang terjadi (pendefinisian terhadap masalah sosial). Untuk organisasi gerakan sosial The Wahid Institute mempunyai elemen diagnistik yang diangkat dari banyaknya kasus di Indonesia mengenai diskriminasi pada agama, budaya, etnis dan gender, dan ingin mewujudkan kedamaian sehingga terbentuklah The Wahid Institute.
2.        Elemen Prognostik. Dalam perspektif ini, unsur politik relatif perifer dengan perbandingan untuk sikap kritis lainnya.[21] Menurut penulis, elemen prognistik dalam The Wahid Institute adalah bahwa KH. Abdurrahman Wahid memanfaatkan posisinya dalam dunia politik untuk membentuk organisasi gerakan sosial The Wahid Institute agar lebih mudah dikenal, dan lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia dengan memandang posisi politik KH> Abdurrahman Wahid.
3.        Elemen Motivasi. Elaborasi simbolik sangat penting untuk menghasilkan motivasi dan insentif yang diperlukan untuk tindakan. Hasil dan biaya bisa diketahui yang berkaitan dengan aksi kolektif, jika aktor yang melakukan aksi kolektif tersebut yakin bahwa tindakannya mempunyai kesempatan untuk memobilisasi, praktis, dan mempunyai legitimasi tindakan.[22] Aktor- aktor yang ikut berkampanye dalam acara-acara perdamaian dan toleransi beragama yang diadakan oleh The Wahid Institute kebanyakan dari koalisi-koalisi yang berkerja sama dengan The Wahid Institute. Contohnya adalah aktor koalisi dari Organisasi Pemberdaya Muda, Perkumpulan Pecinta Hewan[S3] , dengan secara sukarela meramaikan kampanye yang diadakan oleh The Wahid Institute.[23]
 Kebebasan Beragama Di Indonesia
Hukum untuk memiliki hak Kebebasan Beragama di Indonesia telah diatur dalam Undan-Undang Dasar tahun 1945 pada pasal 28E ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “ (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” [24]
Dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). [25] Tapi, tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa menurut The Wahid Institute menyatakan bahwa tidak kurang dari 21 diskriminasi agama yang masih terjadi di Indonesia, baik di pelosok hingga ke kota. Diskriminasi agama pada tahun 2015 menurut catatan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa The Wahid Institute, diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku non negara, namun dilakukan juga oleh pelaku negara.[26]
Peran The Wahid Institute dalam hal toleransi kebebasan beragama dan aksi kedamaian cukup membantu negara. Walaupun menurut Catatan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indonesia The Wahid Institute dapat beberapa kasus dimana pelaku Negara justru melakukan diskriminasi terhadap agama agama. Kampanye-kampanye, Forum, Diskusi serta Dialog yang dilakukan oleh The Wahid Institute juga membantu Negara untuk memberikan sosialisasi kepada masyrakatnya bahwa pentingnya untuk bertoleransi dalam kebebasan beragama serta aksi perdamaian.
Kesimpulan
            Berikut adalah 5 agama yang resmi di Indonesia yang tercatat dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).[27] Dalam ke-6 agama yang ada di Indonesia ini banyak terjadi kasus-kasus pendiskriminasian agama dikarenakan kurangnya rasa toleransi dalam hal kebebasan beragama.. Bahkan dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa menurut The Wahid Institute menyatakan bahwa tidak kurang dari 21 diskriminasi agama yang masih terjadi di Indonesia. Maka dari itu, di sini Gerakan Organisasi The Wahid Institute memiliki peran untuk mensosialisasikan kepada masyrakat Indonesia pentingnya toleransi kebebasan beragama dan kedamaian
            Aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam mendirikan The Wahid Institute adalah KH. Abrurahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Suaedy.
            Usaha-usaha The Wahid Institute dalam menjalankan organisasi gerakan sosial ini adalah dengan mengadakan Kampanye Islam Demokrasi Dan Pluralisme, Gerakan Kebhinekaan, pengadaan Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif, melakukan Monitoring Isu Keagamaan, Advokasi Kebijakan Publik Dan Minoritas serta Forum Diskusi, Seminar Dan Dialog. Salah satu kampanye yang masih berjalan saat ini adalah Pawai dan Festival Perdamaian yang diadakan pada acara Car Free day, Sarinah – bundaran HI – Imam Bonjol dengan tema “The Right of Peoples To Peace”. Kegiatan yang ada dalam kampanye ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk memiliki rasa tolelir terhadap keyakinan beragama.[28] Aktor- aktor yang ikut berkampanye dalam acara-acara perdamaian dan toleransi beragama yang diadakan oleh The Wahid Institute kebanyakan dari koalisi-koalisi yang berkerja sama dengan The Wahid Institute. Contohnya adalah aktor koalisi dari Organisasi Pemberdaya Muda, Perkumpulan Pecinta Hewan, dengan secara sukarela meramaikan kampanye yang diadakan oleh The Wahid Institute.[29]


Daftar Pustaka
A Snow, David dan Robert D Benford. 1988. Internasional Social Movement Research 1.

Agna, Saepul. NIM 207032200624. 2013. The Wahid Institute Dan Gerakan Kebebasan Beragama Di Indonesia Perspektif Gerakan Sosial. FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Della Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing.

Marshal, Gordon. 1998. A dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.

Muhtadi, Burhanuddin . Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru.

Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Undang Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2

Hasil wawancara pribadi




[1] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[2] Gordon Marshal. 1998. A dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.
[3] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 140
[4] Ibid., hlm. 145-150
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Hasil wawancara pribadi
[12] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 67
[13] Hasil wawancara pribadi
[14] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 73
[15] Hal-hal yang berpotensi untuk mempengaruhi gerakan organisasi sosial
[16] Burhanuddin  Muhtadi. Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru. Hlm. 4
[17] Ibid., hlm. 74
[18] Saepul Agna. NIM 207032200624. 2013. The Wahid Institute Dan Gerakan Kebebasan Beragama Di Indonesia Perspektif Gerakan Sosial. FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[19] David A Snow dan Robert D Benford. 1988. Internasional Social Movement Research 1. Hlm. 197
[20] Ibid., hlm. 74-75
[21] Ibid., hlm. 77
[22] Ibid., hlm. 78-79
[23] Hasil wawancara pribadi
[24] Undang Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2
[25] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[27] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[28] Hasil wawancara pribadi
[29] Hasil wawancara pribadi

Pandangan Fungsionalisme dan Neo-Marxist terhadap Etnis

SHOFI MUTHIA SYAR'IE
1113111000032
SOSIOLOGI ETNISITAS
FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1.        Pandangan Fungsionalisme terhadap Etnis
Emile Durkheim
Emile Durkheim di lahirkan di Epinal, Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Ayanhnya adalah seorang pendeta Yahudi.  Durkheim sejak kecil sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus ayahnya yang sudah menjadi tradisi keluarga. Namun, harapan ayahnya tidak dapat terwujud, karena pada saat remaja ia di bawah pengaruh gurunya seorang penganut agama Katolik. Durkheim pun mempelajarinya dengan keras, tetapi ketertarikannya tersebut tidak sesuai dengan apa yang melekat pada diri Durkheim, agama Katolik pun ditinggalkannya dan pada akhirnya Durkheim menjadi seorang yang tidak mau tahu tentang agama (agnostik).[1]
Karya-karya Emile Durkheim yang merupakan empat buku klasik dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, adalah: De la Division du Travail Social: Etude Des Societes Superieurs, Les Regles de la Methode Sociologique, Le Suicide: Etude de Sociologie, dan buku keempat hasil karya Emile Durkheim adalah Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse: Le Systeme Totemique en.[2]
Emile Durkheim mencoba untuk menjelaskan berbagai hubungan teori sosiologi klasik dan etnik dengan melihatnya sebagai sebuah ikatan kekuatan budaya kolektif dan sifat dari solidaritas etnis itu sendiri. Bagi Durkheim, teori mengenai etnisitas sendiri dapat dilihat sebagai sebuah teori yang secara eksplisit dapat dinyatakan dan dianalisis, teteapi di sisi lain sebagian besar dari teori Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya mengenai masyarakat. Dalam hal ini, berbeda dengan berbeda dengan Marx, Durkheim menjelaskan teori etnik bukan sebagai sebuah konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya. [3]
            Dalam pembahasannya mengengai etnik, terlihat sangat jelas ketika Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial, dimana ia memandang masyarakat sebagai sebuah komponen yang berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim, masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik itu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.[4]
            Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam pembahasan mengenai solidaritas organik di sini Durkheim mencoba untuk memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya modernisasi obligasi komunitas etnis secara bertahap menurun dan mereka berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai budaya yang heterogen. Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun di atas tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada pengabdian yang sepenuhnya ditujukan kepada sesuatu yang sifatnya kemanusiaan (patriotisme dunia).[5]
2.        Pandangan Neo-Marxisme terhadap Etnis
Karl Marx
Karl Heinrich Marx, putra tertua dari pasangan Heinrich dan Henrieta Marx, dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, meninggal di LondonInggris14 Maret 1883 pada umur 64 tahun. Karl Heinrich Marxadalah seorang filsuf pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dai Prusia.[6]
Marx besar di kota Trier di Prussian Rhineland. Kedua orangtuanya berasal dari keluarga “Rabi” (taat agama). 1835-1841: (Pendidikan Formal) Setelah menyelesaikan SMA, marx sempat belajar sebentar di Universitas Bonn yang di lanjutkan di Universitas Berlin selama 5 tahun. 1842-1843: (Jurnalisme dan filsafat) selama periode ini Marx bekerja sebagai seorang wartawan dan kemudian mendapatkan promosi sebagai seorang editor untuk surat kabar Cologne,Rheinische Zeitung. Artikel-artikelnya memperlihatkan dirinya sebagai sosok pemikir liberal radikal. 1864-1872 (konferensi kaum buruh internasional) di dalam kongres kaum buruh internasional, sebuah organisasi serikat buruh seluruh eropa, marx memainkan peran sebagai lokomotif faktanya di tangan marxlah masa depan kaum buruh dipertaruhkan. 1873-1883 (tahun-tahun terakhir) tahun-tahun terakhir kehidupan marx di tandai oleh kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Dia menaruh minat kepada sejarah dan masyarakat rusia dan menjalin korespondensi dengan para sosialis rusia tentang strategi-strategi yang tepat untuk meletuskan suatu revolusi di Negara-negara yang jauh dan belum tersentuh oleh kapitalisme.[7]
Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis penting dalam mendorong perkembangan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan Neo-Marxis ini mengabaikan konflik-konflik lain dalam masyarakat, seperti konflik etnis, agama maupun rasial. Tetapi konflik-konflik ini, menurut keyakinan mereka, langsung maupun tidak, berasal dari hubungan erat dengan konflik kelas.[8]
Terdapat tiga konsepsi tematik yang sangat berhubungan dengan teori Marx tentang etnisitas, yaitu[9]:
1.      Keunggulan berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnis. Prinsip penuntun dari teori Marxis adalah konflik kelas. Ekonomi dipandang menjadi dasar utama perubahan sosial dan struktur sosial, sementara budaya dan ide-ide secara umum dilihat sebagai “superstruktur”, kebebasan tersebut ditentukan oleh basis ekonomi. Dalam pandangan ini, etnisitas termasuk dalam lingkup suprastruktur.
2.      Kekhasan suatu etnis sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari unsur kemanusiaan secara keseluruhan. Dalam teori Marx tentang etnis yang berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan untuk sebagian besar dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat menuju kebabasan tanpa batas.
3.      Naiknya sejarah kelas dan identitas etika. Marx akhirnya percaya bahwa solidaritas kelas akhirnya akan menang atas obligasi etnis. Teorinya adalah perjuangan kelas yang tergabung melalui suatu pandangan yang sama bahwa pengembangan kesadaran kelas ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dan bahwa dalam jangka panjang pekerja akan menggeser loyalitas mereka dari etnis ke kelas.
Pemikiran Neo-marxian: Ketimpangan ekonomi dan politik
Oliver cox merupakan tokoh pertama yang cukup baik melakukan analisa dan artikulasi pemikiran marx mengenai etnisitas. Menurutnya eksploitasi tidak hanya berasa dari satu perbedaan distribusi modal antar kelas namun dapat dihasilkan dari relasi antar ras, konteks yang terbangun saat itu yaitu kondisi US yang didominasi politik ras. Relasi sifatnya tidak universal, namun terkait dengan spesifik konteks ruang dan waktu, proses asal mula dan kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan. Dalam konteks ini maka kebutuhan dari kapitalis yaitu tenaga kerja murah demi kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan , mekanisme ekspansi kapitalis dilakukan antara lain melalui kolonialism dan pembentukan Negara-negara baru. Perbedaan secara fisik dan kultur antara pekerja kulit hitam dan putih dipertahankan bagi kepentingan kapitalis dan bisnis besar yang menjaga kesenjangan antar etnis. Kebencian dan amarah kelompok etnis yang dieksploitasi disebut dengan racial antagonism yang menjadi bagian dari pergerakan kelas. Pemikiran Cox sangat mengikuti pemikiran marx dalam menggambarkan kepentingan kapitalis dalam hal ekonomi yang berlanjut untuk mendapatkan kekuasaan penuh melalui penguasaan secara politik. Bahwa etnik tertentu (kulit putih) mendapatkan posisi privileged  dalam struktur dan kultur di masyarakat.kritik terhadap Cox yaitu tidak mampu menjelaskan variasi bentuk relasi etnis. Edna Bonacich  melakukan interpretasi Neomarxian yang berbeda dengan konsep utama Split labour-teori pasar. Menurutnya dalam kelas pekerja etnis tidak homogen melainkan multietnis yang memiliki interest, kepentingan yang berbeda-beda antar etnis yang justru mendukung ideology pasar terbuka. Hal ini berkaitan dengan pembagian kelas yang didasarkan pada kelompok kepentingan yaitu kelompok pengusaha bisnis, kelas menengah sebagai konsumen utama dan kelas pekerja dengan upah rendah.  Kompleksitas hubungan antara pengusaha dan kelas pekerja tidak dapat dihindarkan karena dengan upah rendah akan meningkatkan pengusaha dan membahayakan bagi kelas menengah atau better paid. Sumber penting terjadinya perbedaan interest kelompok pekerja yaitu harga atau upah tenaga kerja itu sendiri. Konflik yang terjadi bukan karena dua kelompok yang dominan melainkan kelompok-kelompok sama namun memiliki interest yang berbeda. [10]
Michael Hechter, melihat kekurangan penjelasan Edna yang tidak melihat pembagian kerja lebih komperensif, tema yang diangkatnya mengenai solidaritas pekerja merupakan reaksi dari perbedaan secara kultur untuk melawan eksploitasi kekuasaan ekonomi dan  politik. Teori internal kolonialism memiliki argumentasi perbedaan kultur mengarah pada pentingnya politik ketika terjadi ketidakseragaman pembangunan ekonomi khususnya proses indutrialisasi di Negara-negara dunia ketiga. Perbedaan kultur tenaga kerja berkaitan dengan Negara di Negara dunia, karena bagi tipe industry membuthkan unskilled labour yang mudah diperoleh di Negara-neara yang baru terbentuk dalam masa berkembang. Ketimpangan menjadi kata kunci dalam menciptakan konflik etnik, fokusnya tidak hanya etnis dalam satu Negara melainkan antar Negara.[11]
Culture, Class and Hegemony: the Gramscian legacy
            Marxian klasik melihat etnisistas sebagai sesuatu yang di konstruksikan dan  berupa gagasan di dalam setiap fase sejarah kehidupan manusia. Di dalam tradisi mereka, modes of production merupakan hal yang penting dan menjadikannya dasar dari kehidupan manusia. Hal tersebut terkesan sebagai pendekatan yang determinis ekonomi. Antonio Gramsci, marxsis Italia, melihat masyarakat kapitalis lebih pada budaya dibandingkan ekonomi. Menurut Gramsci,  di dalam dunia kapitalisme, terdapat hal penting dibandingkan ekonomi, yaitu budaya dan hegemoni ideologi.[12]
Saat kebanyakan landasan neo-Marxism masih berakar dengan kuat pada warisan pemikiran klasik dalam menjelaskan hubungan etnik dalam ekonomi dan kelas, pemikiran neo-Marxism yang berusaha bergeser dari pemikiran klasiknya bisa menjelaskannya. Neo-Marxism secara tepat menjelaskan mengenai hubungan antara etnisitas dan ketimpangan kelas. Dalam ekonomi kapitalis modern, sangat mungkin seseorang mengidentifikasi sebuah overlap yang hebat antara kelas dan kelompok sosial. di Amerika Utara, Australia dan Eropa Barat, kita bisa dengan mudah melihat hal ini. Division of labour yang didasari etnik banyak terjadi, misalnya, secara kultural, kelompok imigran menempati proporsi yang besar dalam persentase profesi yang unskilled maupun lower skilled. Dalam kondisi ini, seorang pengusaha yang memiliki kekuasaan tinggi bisa memanipulasi perbedaan kultural dengan tujuan untuk membagi, atau mengeksploitasi pekerja.[13]
Weber dan Rex menjelaskan, etnisitas bisa menjadi overlap dengan status, kasta, maupun kepemilikan tanah. Afrika Selatan contohnya, masa apartheid dibentuk oleh dominasi kelompok etnik atas kasta. Dari sini, terlihat bahwa Marx dan Cox mereduksi etnisitas menjadi kelas, disini terjadi dua kesalahan, yaitu reduksionisme kelas, dan absolutisme kelas. Ketika neo-Marxist tidak mereduksi etnisitas menjadi kelas, mereka tetap harus memelihara keunggulan kelas dan produksi relasi dalam penjelasannya mengenai tindakan kelompok etnik.[14]
Marxisme melihat kelompok etnik sebagai sebuah produk buatan yang besar dari ekonomi kapitalis. Walaupun para pengusaha memiliki kepentingan dalam menggolongkan kelas pekerja melalui prinsip pemisahan dan pemberian aturan, adalah sebuah argumen struktural bahwa kapitalisme menentukan ketidakadilan kelompok. Kapitalisme berakar dari proses produksi, dimana kepentingannya hanyalah akumulasi keuntungan melalui peningkatan nilai-nilai keuntungan dengan melakukan eksploitasi kelas pekerja dan pertukaran komoditi. Berdasarkan pemikiran marxist, proses seperti ini menciptakan sebuah kelas yang benar-benar berlawanan. Ketika kelompok subordinat menjadi tidak peduli dengan posisi mereka yang tidak menguntungkan dan karena sifat yang eksploitatif dari sistem kapitalis, kelompok yang subordinat ini menjadi kekurangan kesadaran kelas mereka, karena kondisi hegemoni dari kapitalis.[15]


Daftar Pustaka
Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl Marx.Surabaya:Pustaka Promethea.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 85

Elster,Jon.1986.Karl Marx ”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya.

Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu.

Ritzer, George. Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory. New York: McGraw- Hill.

Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications.



[1] Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran, Dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu. Hlm. 14
[2] George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory. New York: Mcgraw- Hill. Hlm. 79
[3] Ibid., Hlm. 130
[4] Ibid., Hlm. 130
[5] Ibid., Hlm. 131-132
[6] Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl Marx.Surabaya:Pustaka Promethea. Hlm. 35
[7] Jon Elster. 1986. Karl Marx ”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya.
[8] Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 85
[9] Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications. Hlm. 137-138
[10] Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications. Hlm.
[11] Ibid., Hlm.
[12] Ibid., Hlm.
[13] Ibid., Hlm.
[14] Ibid., Hlm.
[15] Ibid., Hlm.