Candi Cangkuang
Candi
ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harosoyo dan Uka
Candrasasmita berdasarkan laporan Voderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya
sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain
menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu besar yang
merupakan peninggalan agama Hindu, kira-kira pada abad ke-8 Masehi.
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita
saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini
berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7x4,7 m dengan tinggi
30cm. kaki bangunan yang menyokong pelipit
padma, pelipit kumuda, dan pelipit
pasagi ukurannya 4,5x4,5 m dengan tinggi 1,37m. di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang
panjangnya 1,5 m dan lebar 1,26m. tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat
4,22x4,22m dengan tinggi 2,49m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang
berukuran 1,56m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi
empat berukuran 3,8x3,8m dengan tinggi 1,56 dan 2,74x2,74 m yang tingginya
1,1m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 3,8x3,8 m dengan tingginya 2,55m.
Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4x0,4m yang dalamnya 7m (dibangun
ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).
Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca
(tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang yang datar alasnya menghadap
ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di
depan kaki kiri terdapat kepala kerbau
(nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para
ahli menganggap bahwa ini adalah Arca Siwa. Kedua tangannya mengadah di atas
paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada, dan penghias
telinga. Keadaan arca ini umumnya sudah rusak, wajahya datar, bagian tangan
hingga kedua pergelangannya telah hilang. [1]
Dari sini sedikitnya dapat diambil
kesimpulan apabila agama yang dianut oleh masyarakat pada abad ke VIII
berdasarkan hitungan arkeometrik tentang usia candi adalah beragama hindu
bermadzhabkan siwa. Arca itu sendiri memiliki ketinggian 40 cm, namun setelah
alas kaki dari arca tersebut di semen agar menyatu dengan lantai ruangan, maka
tinggi arca karena alas an semen itu menjadi sekitar 60 cm. Di bawah arca
tersebut terdapat sebuat sumur dengan kedalaman antara 5-7 m. Sumur tersebut
sebagaimana halnya fungsi candi-candi pada jaman dahulu adalah untuk menguburkan
abu jenazah pembesar kerajaan. Sayangnya arca yang juga berbahan baku batuan
andesit itu kini sudah sedikit rusak, terhitung empat kali sejak pemugaran
pernah patah bahkan mengakibatkan kedua lengan arca yang patah hilang tanpa
jejak.
Maka untuk menghindari terulangnya
kejadian tersebut, pada 1999 mulai digunakan jeruji besi di pintu masuk
sehingga orang tidak lagi bias masuk keruangan Candi Cangkuang pun untuk
menyentuh arca tersebut. Ini menjadikan candi cangkuang sebagai satu-satunya
bangunan candi yang memiliki jeruji besi.[2]
Kertas daulang
Daluang pasti masih asing terdengar. Daluang, atau dluwang dalam bahasa Jawa, merupakan kertas yang berasal dari pohon saeh. Naskah-naskah kuno seperti Alquran dan naskah khutbah Idulfitri yang berada di museum Situ Cangkuang menggunakan daluang sebagai bahan bakunya. Naskah yang sudah berumur ratusan tahun tersebut hingga kini masih terjaga keasriannya. Bahkan tulisan di daluang masih bisa terbaca.
Pohon yang tak bercabang dengan diameter tak lebih dari 20 sentimeter itu diambil bagian kulitnya untuk dijadikan bahan kertas. Koordinator juru pelihara Situ Cangkuang, Zaki Munawar, mengatakan, pohon saeh yang bisa menjadi bahan baku kertas biasanya yang telah berumur satu sampai dua tahun. Jika pohon terlalu tua, akan sulit untuk dijadikan kertas. “Orang dari Amerika dan Jepang banyak yang memesan daluang ini. Soalnya kekuatan kertasnya lebih bagus daripada kertas pada umumnya. Kertas nasional Nusantara daluang ini memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuatnya,” ujar Zaki di site museum Situ Cangkuang, Senin (2/6).
Proses pembuatan daluang masih dilakukan secara tradisional. Jika memerlukan kertas dengan ukuran 30 sentimeter, pohon saeh yang digunakan pun berukuran 30 sentimeter. Sebelum diambil bagian kulitnya, pohon saeh terlebih dahulu direndam selama tiga hari. “Setelah direndam lalu dipukul-pukul hingga melebar menjadi kertas. Nantinya pohon yang sudah dipukul-pukul itu harus direndam kembali dengan dibungkus daun pisang selama empat sampai enam hari untuk menutup bagian kertas yang bolong,” katanya.[4]
Kitab doa selamat
Naskah Ini menggunakan
alas tulis daulang dan menggunakan aksara Arab dan Pegon. Kitab ini berisikan
tentang
Makam embah dalem Arif Muhammad
Candi Cangkuang
dibangun pada zaman kerajaan Sunda pertama yaitu Kerajaan Galuh. Di dekat candi
ada makam peninggalan penganut agama Islam, yaitu Arief Muhammad/Maulana Ifdil
Hanafi. Dia salah seorang tentara kerajaan Mataram dari Jawa Tengah yang pergi
menyerang belanda di Batavia pada abad ke 17. Penyerangannya gagal, dia tidak kembali,
tapi menetap di Cangkuang mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada
masyarakat sekitarnya, tepatnya di kampung Pulo tempat keturunannya menetap
sampai saat ini.[5]
Naskah Al-Qur’an
Salah
satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan
terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x 33
cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak memiliki
penomoran halaman. Al-Quran yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua
warna tinta, yaitu hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam,
sedangkan tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut
Jiji Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat
buah manggis. Namun Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz.
Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12
kuras dan memiliki 143 halaman.
Naskah
berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya penuh lubang
kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya tidak terbaca. Hal
tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang, termasuk Al-Quran ini, masih
belum dirawat secara intensif. Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip
masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel
yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan
menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.[6]
Naskah Tauhid
Naskah Tauhid
Naskah ini berjudul “Tauhid dan Fiqh” dengan menggunakan
bahasa dan aksara arab. Ukuran naskah ini 30cm x 24cm dan mempunyai ukuran teks
20cm x 14cm serta memiliki ketebalan yaitu 98 halaman. Naskah ini sama dengan
naskah yang sebelumnya, menggunakan kertas daulang dan saat ini di simpan di
museum Candi Cangkuang, Garut. Keadaan fisik naskah ini juga bolong-bolong,
sebagian teksnya tidak terbaca, serta jilidnya terlepas. Naskah ini mempunyai
ikhtisar isi sebagai berikut, yaitu menjelaskan tentang beberapa pengertian kata iman dan
rukun iman. Pada bab lain dijelaskan tata cara melaksanakan ibadah
shalat, puasa dan haji. [7]
Naskah Sharaf
Naskah ini berjudul “Nahwu san Sharaf” yang menggunakan
bahasa dan aksara Arab dan Pentagon. Naskah ini mempunyai ukuran 23cm x 15cm
dengan ukuran teks 15cm x 9cm dan mempunyai tebal naskah sebanyak 33 halaman.
Bahan naskah tersebut berasal dari kertas daulang. Sampai saat ini, naskah ”Nahwu san Sharaf” ini di simpan di
museum Candi Cangkuang, lebih tepatnya letak museum tersebut adalah kurang
lebih 5 meter dari Candi Cangkuang. Keadaan naskah saat ini kertasnya
bolong-bolong, kemudian sebagian teksnya tidak terbaca dan jilidnya lepas. Dan
yang terakhir Ikhtisar isi naskah ini adalah tentang uraian tentang shigat, pembagian isim, kata kerja, dan
huruf.[8]
Rumah Adat dan Masjid
Salah
satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan di
Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal ketujuh
anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan berhadapan. Tiga
rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara.
Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang berhadapan dengan halaman luas yang
membelah deretan rumah tersebut. Setiap rumah memiliki ruangan yang sama:
serambi, satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.
Kini,
ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak
perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai anak
laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah keturunan
Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.
Keunikan
lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Setiap rumah
hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga. Artinya, apabila ada
anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka ia harus segera
meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua minggu. Apabila kepala
keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan,
sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal.
[1] Mengenal Candi-candi Nusantara, Thomas
Wendoris, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2008 hlm. 15-16
[3]
KBBI
[4] https://id.berita.yahoo.com/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-094406076.html.
[5] http://ramadan.liputan6.com/read/636847/cangkuang-candi-hindu-dengan-makam-pemuka-islam-di-dekatnya
[6] http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/07/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-amerika
[7] http://bsa.uinsgd.ac.id/?p=84
[8] Ibid,.
0 komentar:
Posting Komentar