SHOFI MUTHIA SYAR'IE
1113111000032
SOSIOLOGI ETNISITAS
FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1.
Pandangan
Fungsionalisme terhadap Etnis
Emile Durkheim
Emile
Durkheim di lahirkan di Epinal, Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858.
Ayanhnya adalah seorang pendeta Yahudi. Durkheim sejak kecil sudah
dipersiapkan untuk menjadi penerus ayahnya yang sudah menjadi tradisi keluarga.
Namun, harapan ayahnya tidak dapat terwujud, karena pada saat remaja ia di
bawah pengaruh gurunya seorang penganut agama Katolik. Durkheim pun
mempelajarinya dengan keras, tetapi ketertarikannya tersebut tidak sesuai
dengan apa yang melekat pada diri Durkheim, agama Katolik pun ditinggalkannya
dan pada akhirnya Durkheim menjadi seorang yang tidak mau tahu tentang agama (agnostik).[1]
Karya-karya
Emile Durkheim yang merupakan empat buku klasik dalam sejarah perkembangan ilmu
sosial, adalah: De la Division du Travail Social: Etude Des Societes
Superieurs, Les Regles de la Methode Sociologique, Le Suicide: Etude de
Sociologie, dan buku keempat hasil karya Emile Durkheim adalah Les
Formes Elementaires de la Vie Religieuse: Le Systeme Totemique en.[2]
Emile
Durkheim mencoba untuk menjelaskan berbagai hubungan teori sosiologi klasik dan
etnik dengan melihatnya sebagai sebuah ikatan kekuatan budaya kolektif dan
sifat dari solidaritas etnis itu sendiri. Bagi Durkheim, teori mengenai
etnisitas sendiri dapat dilihat sebagai sebuah teori yang secara eksplisit
dapat dinyatakan dan dianalisis, teteapi di sisi lain sebagian besar dari teori
Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya mengenai masyarakat.
Dalam hal ini, berbeda dengan berbeda dengan Marx, Durkheim menjelaskan teori
etnik bukan sebagai sebuah konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan
sebagai sebuah pola integrasi sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya. [3]
Dalam pembahasannya mengengai etnik,
terlihat sangat jelas ketika Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam
dua jenis tatanan sosial, dimana ia memandang masyarakat sebagai sebuah
komponen yang berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim,
masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal
struktur internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai
jenis solidaritas kelompok, baik itu solidaritas mekanik dan solidaritas
organik.[4]
Dalam pembahasan mengenai 2 jenis
tatanan solidaritas, terutama dalam pembahasan mengenai solidaritas organik di
sini Durkheim mencoba untuk memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang
berkaitan erat dengan munculnya modernisasi obligasi komunitas etnis secara
bertahap menurun dan mereka berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan
mempunyai budaya yang heterogen. Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman
budaya dibangun di atas tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara
keseluruhan (ada suatu kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis
yang pertama berubah menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan
kemudian mengarah kepada pengabdian yang sepenuhnya ditujukan kepada sesuatu
yang sifatnya kemanusiaan (patriotisme dunia).[5]
2.
Pandangan
Neo-Marxisme terhadap Etnis
Karl Marx
Karl
Heinrich Marx, putra tertua dari pasangan Heinrich dan Henrieta Marx,
dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, meninggal di London, Inggris, 14 Maret 1883 pada
umur 64 tahun. Karl Heinrich Marxadalah seorang filsuf pakar ekonomi politik
dan teori kemasyarakatan dai Prusia.[6]
Marx
besar di kota Trier di Prussian Rhineland. Kedua orangtuanya berasal dari
keluarga “Rabi” (taat agama). 1835-1841: (Pendidikan Formal) Setelah
menyelesaikan SMA, marx sempat belajar sebentar di Universitas Bonn yang di
lanjutkan di Universitas Berlin selama 5 tahun. 1842-1843: (Jurnalisme dan
filsafat) selama periode ini Marx bekerja sebagai seorang wartawan dan kemudian
mendapatkan promosi sebagai seorang editor untuk surat kabar Cologne,Rheinische
Zeitung. Artikel-artikelnya memperlihatkan dirinya sebagai sosok pemikir
liberal radikal. 1864-1872 (konferensi kaum buruh internasional) di dalam
kongres kaum buruh internasional, sebuah organisasi serikat buruh seluruh
eropa, marx memainkan peran sebagai lokomotif faktanya di tangan marxlah masa
depan kaum buruh dipertaruhkan. 1873-1883 (tahun-tahun terakhir) tahun-tahun
terakhir kehidupan marx di tandai oleh kondisi kesehatan yang semakin memburuk.
Dia menaruh minat kepada sejarah dan masyarakat rusia dan menjalin korespondensi
dengan para sosialis rusia tentang strategi-strategi yang tepat untuk
meletuskan suatu revolusi di Negara-negara yang jauh dan belum tersentuh oleh
kapitalisme.[7]
Bagi
kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis penting
dalam mendorong perkembangan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan
Neo-Marxis ini mengabaikan konflik-konflik lain dalam masyarakat, seperti konflik
etnis, agama maupun rasial. Tetapi konflik-konflik ini, menurut keyakinan
mereka, langsung maupun tidak, berasal dari hubungan erat dengan konflik kelas.[8]
Terdapat
tiga konsepsi tematik yang sangat berhubungan dengan teori Marx tentang etnisitas,
yaitu[9]:
1. Keunggulan
berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnis. Prinsip
penuntun dari teori Marxis adalah konflik kelas. Ekonomi dipandang menjadi
dasar utama perubahan sosial dan struktur sosial, sementara budaya dan ide-ide
secara umum dilihat sebagai “superstruktur”, kebebasan tersebut ditentukan oleh
basis ekonomi. Dalam pandangan ini, etnisitas termasuk dalam lingkup
suprastruktur.
2. Kekhasan
suatu etnis sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari unsur
kemanusiaan secara keseluruhan. Dalam teori Marx tentang etnis yang
berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan untuk sebagian besar
dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat menuju
kebabasan tanpa batas.
3. Naiknya
sejarah kelas dan identitas etika. Marx akhirnya percaya bahwa solidaritas
kelas akhirnya akan menang atas obligasi etnis. Teorinya adalah perjuangan
kelas yang tergabung melalui suatu pandangan yang sama bahwa pengembangan
kesadaran kelas ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dan bahwa dalam jangka
panjang pekerja akan menggeser loyalitas mereka dari etnis ke kelas.
Pemikiran
Neo-marxian: Ketimpangan ekonomi dan politik
Oliver cox merupakan tokoh
pertama yang cukup baik melakukan analisa dan artikulasi pemikiran marx
mengenai etnisitas. Menurutnya eksploitasi tidak hanya berasa dari satu perbedaan distribusi modal antar kelas namun
dapat dihasilkan dari relasi antar ras, konteks yang terbangun saat itu yaitu
kondisi US yang didominasi politik ras. Relasi sifatnya tidak universal, namun
terkait dengan spesifik konteks ruang dan waktu, proses asal mula dan
kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan. Dalam konteks ini maka kebutuhan dari
kapitalis yaitu tenaga kerja murah demi kepentingan ekonomi dan politik
kekuasaan , mekanisme ekspansi kapitalis dilakukan antara lain melalui kolonialism dan pembentukan Negara-negara baru.
Perbedaan secara fisik dan kultur antara pekerja kulit hitam dan putih
dipertahankan bagi kepentingan kapitalis dan bisnis besar yang menjaga
kesenjangan antar etnis. Kebencian dan amarah kelompok etnis yang dieksploitasi
disebut dengan racial antagonism yang
menjadi bagian dari pergerakan kelas. Pemikiran Cox sangat mengikuti pemikiran
marx dalam menggambarkan kepentingan kapitalis dalam hal ekonomi yang berlanjut
untuk mendapatkan kekuasaan penuh melalui penguasaan secara politik. Bahwa
etnik tertentu (kulit putih) mendapatkan posisi privileged dalam struktur dan
kultur di masyarakat.kritik terhadap Cox yaitu tidak mampu menjelaskan variasi
bentuk relasi etnis. Edna Bonacich
melakukan interpretasi Neomarxian yang berbeda dengan konsep utama Split labour-teori pasar. Menurutnya
dalam kelas pekerja etnis tidak homogen melainkan multietnis yang memiliki interest, kepentingan yang berbeda-beda
antar etnis yang justru mendukung ideology pasar terbuka. Hal ini berkaitan
dengan pembagian kelas yang didasarkan pada kelompok kepentingan yaitu kelompok
pengusaha bisnis, kelas menengah sebagai konsumen utama dan kelas pekerja
dengan upah rendah. Kompleksitas
hubungan antara pengusaha dan kelas pekerja tidak dapat dihindarkan karena
dengan upah rendah akan meningkatkan pengusaha dan membahayakan bagi kelas
menengah atau better paid. Sumber
penting terjadinya perbedaan interest kelompok pekerja yaitu harga atau upah
tenaga kerja itu sendiri. Konflik yang terjadi bukan karena dua kelompok yang
dominan melainkan kelompok-kelompok sama namun memiliki interest yang berbeda. [10]
Michael Hechter, melihat
kekurangan penjelasan Edna yang tidak melihat pembagian kerja lebih
komperensif, tema yang diangkatnya mengenai solidaritas pekerja merupakan
reaksi dari perbedaan secara kultur untuk melawan eksploitasi kekuasaan ekonomi
dan politik. Teori internal kolonialism memiliki argumentasi perbedaan
kultur mengarah pada pentingnya politik ketika terjadi ketidakseragaman
pembangunan ekonomi khususnya proses indutrialisasi di Negara-negara dunia
ketiga. Perbedaan kultur tenaga kerja berkaitan dengan Negara di Negara dunia,
karena bagi tipe industry membuthkan unskilled
labour yang mudah diperoleh di Negara-neara yang baru terbentuk dalam masa
berkembang. Ketimpangan menjadi kata kunci dalam menciptakan konflik etnik,
fokusnya tidak hanya etnis dalam satu Negara melainkan antar Negara.[11]
Culture,
Class and Hegemony:
the Gramscian legacy
Marxian
klasik melihat etnisistas sebagai sesuatu yang di konstruksikan dan berupa gagasan di dalam setiap fase sejarah
kehidupan manusia. Di dalam tradisi mereka, modes
of production merupakan hal yang penting dan menjadikannya dasar dari
kehidupan manusia. Hal tersebut terkesan sebagai pendekatan yang determinis
ekonomi. Antonio Gramsci, marxsis Italia, melihat masyarakat kapitalis lebih
pada budaya dibandingkan ekonomi. Menurut Gramsci, di dalam dunia kapitalisme, terdapat hal
penting dibandingkan ekonomi, yaitu budaya dan hegemoni ideologi.[12]
Saat kebanyakan landasan
neo-Marxism masih berakar dengan kuat pada warisan pemikiran klasik dalam
menjelaskan hubungan etnik dalam ekonomi dan kelas, pemikiran neo-Marxism yang
berusaha bergeser dari pemikiran klasiknya bisa menjelaskannya. Neo-Marxism secara
tepat menjelaskan mengenai hubungan antara etnisitas dan ketimpangan kelas.
Dalam ekonomi kapitalis modern, sangat mungkin seseorang mengidentifikasi
sebuah overlap yang hebat antara kelas dan kelompok sosial. di Amerika Utara,
Australia dan Eropa Barat, kita bisa dengan mudah melihat hal ini. Division
of labour yang didasari etnik banyak terjadi, misalnya, secara kultural,
kelompok imigran menempati proporsi yang besar dalam persentase profesi yang unskilled
maupun lower skilled. Dalam kondisi ini, seorang pengusaha yang memiliki
kekuasaan tinggi bisa memanipulasi perbedaan kultural dengan tujuan untuk
membagi, atau mengeksploitasi pekerja.[13]
Weber dan Rex menjelaskan,
etnisitas bisa menjadi overlap dengan status, kasta, maupun kepemilikan
tanah. Afrika Selatan contohnya, masa apartheid dibentuk oleh dominasi kelompok
etnik atas kasta. Dari sini, terlihat bahwa Marx dan Cox mereduksi etnisitas
menjadi kelas, disini terjadi dua kesalahan, yaitu reduksionisme kelas, dan
absolutisme kelas. Ketika neo-Marxist tidak mereduksi etnisitas menjadi kelas,
mereka tetap harus memelihara keunggulan kelas dan produksi relasi dalam
penjelasannya mengenai tindakan kelompok etnik.[14]
Marxisme melihat kelompok
etnik sebagai sebuah produk buatan yang besar dari ekonomi kapitalis. Walaupun
para pengusaha memiliki kepentingan dalam menggolongkan kelas pekerja melalui
prinsip pemisahan dan pemberian aturan, adalah sebuah argumen struktural bahwa
kapitalisme menentukan ketidakadilan kelompok. Kapitalisme berakar dari proses
produksi, dimana kepentingannya hanyalah akumulasi keuntungan melalui
peningkatan nilai-nilai keuntungan dengan melakukan eksploitasi kelas pekerja
dan pertukaran komoditi. Berdasarkan pemikiran marxist, proses seperti ini
menciptakan sebuah kelas yang benar-benar berlawanan. Ketika kelompok
subordinat menjadi tidak peduli dengan posisi mereka yang tidak menguntungkan
dan karena sifat yang eksploitatif dari sistem kapitalis, kelompok yang
subordinat ini menjadi kekurangan kesadaran kelas mereka, karena kondisi hegemoni
dari kapitalis.[15]
Daftar Pustaka
Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl
Marx.Surabaya:Pustaka Promethea.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Hlm. 85
Elster,Jon.1986.Karl Marx
”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya.
Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran,
dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu.
Ritzer, George. Douglas J.
Goodman. 2004. Sociological Theory.
New York: McGraw- Hill.
Malesevic, Sinisa.
2004. The Sociology Of Ethnicity.
SAGE Publications.
[1] Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran,
Dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu. Hlm. 14
[2] George Ritzer, Douglas J. Goodman.
2004. Sociological Theory. New York:
Mcgraw- Hill. Hlm. 79
[3] Ibid., Hlm. 130
[4] Ibid., Hlm. 130
[5] Ibid., Hlm. 131-132
[6] Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl
Marx.Surabaya:Pustaka Promethea. Hlm. 35
[7] Jon Elster. 1986. Karl Marx ”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT
Prestasi Pustakaraya.
[8] Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Hlm. 85
[11] Ibid., Hlm.
[12] Ibid., Hlm.
[13] Ibid., Hlm.
[14] Ibid., Hlm.
[15] Ibid., Hlm.
1 komentar:
nena nene nena nene wkwk
Posting Komentar