RSS

Peran Gerakan Organisasi Sosial Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute

Shofi Muthia Syar’ie
1113111000032
Mahasiswa FISIP UIN Jakarta

ABSTRACT. This paper tries to explain the social movement organizations freedom of religion Indonesia, which is of social movement organizations The Wahid Institute pioneered by K.H Abdurrahman Wahid. The purpose explanation is to review the policy of freedom of religion and the role of social movement organizations The Wahid Institute to society in Indonesia. It also describes the basic elements of social movement organizations The Wahid Institute.
Keywords. Social Movement Organizations, Freedom Of Religion, The Wahid Institute, Pluralism, Toleransi, And  Basic Elements Of Social Movement Organizations
Pendahuluan
Salah satu elemen penting pembentuk kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah etnis dan agama. Di indonesia sendiri memiliki ciri ciri masyarakat yang majemuk, karena dapat dilihat dari adanya berbagai etnis dan agama yang ada di Indonesia. Khususnya hubungan antarumat beragama di Indonesia selalu menunjukkan hubungan yang dinamis. Kadang hubungan tersebut berbentuk kerjasama dan tidak jarang pula berbentuk konflik. Meskipun saat ini Indonesia terlihat saling menghormati antar agama, namun masih banyak yang melakukan diskriminasi agama, khususnya untuk beragama di indonesia.
            Berikut adalah 5 agama yang resmi di Indonesia yang tercatat dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Tapi, tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.[1]
Namun, konflik berkaitan dengan beragama masih saja terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Fenomena di atas menunjukkan bahwa adanya kesenjangan antara agama satu dengan agama yang lainnya, serta masih kurangnya rasa toleransi beragama dalam masyarakat Indonesia. Karena masih adanya rasa tidak mentoleransi beragama, maka munculah oraganisasi gerakan sosial di Indonesia yang bernama ‘The Wahid Institute’ yang dipelopori oleh K.H Abdurrahman Wahid. Paper ini mencoba menjelaskan peran gerakan organisasi sosial The Wahid Institute terhadap rasa toleransi masyarakat Indonesia dalam hal beragama.
Gerakan Organisasi Sosial
Dalam A Dictionary of Sociology, definisi gerakan sosial adalah “upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk merubah atau ‘menolak’ perubahan yang terjadi dalam salah satu sendi –atau beberapa sendi– kehidupan masyarakat”.[S2] [2] Sedangkan menurut McCharity dan Zald mendefinisikan organisasi gerakan sosial sebagai “sesuatu yang kompleks, atau organisasi formal yang mengindentifikasi tujuan dengan preferensi gerakan sosial atau counter movement (langkah/ tindakan) dan upaya untuk menerapkan tujuan mereka. Atau dengan kata lain yaitu adalah organisasi yang formal dan terstruktur”.[3]
Tipe-Tipe Gerakan Sosial. Berikut adalah dua tipe tipe gerakan organisasi sosial menurut Doherty 1999; Wall 1999; Drury et al. 2003[4]:
1.      Organisasi Sosial Profesional
Ada 4 karakteristik organisasi gerakan sosial yang profesional, yaitu:
1.         Pemimpinannya memberikan waktu yang penuh untuk gerakannya
2.         Dokumen keanggotaan
3.         Mencoba untuk memberikan citra/pandangan tentang “speaking for a constituency”.
4.         Upaya untuk mempengaruhi kebijakan terhadap konstituen yang sama
2.      Partisipasi Gerakan Sosial
·         Mass protest organizations
Dalam model ini partisipasi organisasi sosial mengkombinasikan antara mempertahankan demokrasi partispatoris dengan tingkat tertentu formalisasi dari suatu struktur organisasi. Bagaimanapun juga model ini lebih menekankan pada peran revolusioner profesional dan ketidakpedulian terhadap grassroot. Contohnya adalah kampanye tentang isu-isu lingkungan, kampanye menyangkut energi nuklir dan kampanye tentang toleransi kebebasan beragama.
·         Grassroots organization
Berbeda dengan mass protest organizations, model grassroot menggabungkan orientasi partisipatif yang kuat dengan yang tingkat rendah di dalam strukturasi formal. Keberadaan organisasi semacam ini tergantung pada kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan mereka. Kesediaan partisipasi mereka didorong melalui kombinasi yang berbeda dari insentif ideologis dan solidaritas. Seringkali hal ini berkaitan dengan lokalitas.
Sejarah Singkat The Wahid Institute
Berdiri sejak 7 September 2004, The WAHID Institute (WI) adalah lembaga yang berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia. Dalam berbagai programnya, WI menggelar kegiatan di lingkungan aktivis muslim progresif dan dialog-dialog di antara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan Barat.[5]
VISI. Terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sejahtera dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam. The Wahid institute berusaha memperjuangkan terciptanya dunia yang damai dan adil dengan mengembangkan pandangan Islam yang toleran dan moderat dan bekerja untuk terbangunnya kesejahteraan bagi semua manusia.[6]
MISI. (1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai dan dan toleran. (2) Mengembangkan dialog-dilog antara budaya lokal dan internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan budaya dan agama di dunia. (3) Mendorong beragam inisiatif untuk memperkuat masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah yang baik di Indonesia dalam penguatan demokrasi. (4) Mempromosikan partisipasi aktif dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog perdamaian. (5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[7]
PENDIRI. K.H. Abdurrahman Wahid. Atau biasa disapa Gus Dur, mantan Ketua Umum pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini figur penting dalam gerakan demokrasi dan pemikiran moderat di lingkungan muslim Indonesia. Bacaan dan perhatiannya amat luas, dari politik hingga humor. Seperti sebelumnya, ketika putera mantan Menteri Agama RI ini menjadi Presiden RI (1999-2001), banyak langkah penting yang diambil, terutama demi menjamin hak-hak kelompok minoritas.[8]
Selain K.H Abdurrahman Wahid yang ikut berperan penting dalam mendirikian The Wahid Institute adalah Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid ini mantan jurnalis Sidney Morning Herald dan the Age, Australia, danx Ahmad Suaedy sebagai Direktur Eksekutif Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia. [9]
Program The Wahid Institute. Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Isntitute secara konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011, menjalankan program yang berkaitan dengan gerakan oraganisasi sosial menyangkut toleransi dalam beragama, di antaranya yaitu[10]:
  • ·         Kampanye Islam Demokrasi Dan Pluralisme.
  • ·         Gerakan Kebhinekaan
  • ·         Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif
  • ·         Monitoring Isu Keagamaan
  • ·         Advokasi Kebijakan Publik Dan Minoritas
  • ·         Forum Diskusi, Seminar Dan Dialog

Salah satu kampanye yang masih berjalan saat ini adalah Pawai dan Festival Perdamaian yang diadakan pada acara Car Free day, Sarinah – bundaran HI – Imam Bonjol dengan tema “The Right of Peoples To Peace”. Kegiatan yang ada dalam kampanye ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk memiliki rasa tolelir terhadap keyakinan beragama.[11]
Elemen-Elemen Dasar Organisasi Gerakan Sosial The Wahid Institute
Peran dan Aksi: Peran Nilai. Nilai dapat mempengaruhi aktor dalam mendefinisikan tujuan spesifik, dan mengidentifikasi strategi yang efesien dan dapat diterima secara moral, terlebih lagi, nilai dapat menyediakan keperluan motivasi dalam menopang suatu gerakan.[12] Salah satu nilai yang dianut oleh The Wahid Isntitute dalam menjalan gerakan, salah satunya adalah kampanye aksi perdamaian yang diadakan pada acara Car Free Day, adalah “The Right of Peoples To Peace” atau yang dimaksud adalah bahwa “Orang yang benar adalah orang yang berdamai”.[13] Berdamai disini maksudnya adalah mempunyai rasa toleransi, serta tidak membuat perselisihan atau mendiskriminasi terhadap perbedaan agama, ras, suku, gender, dan budaya.
Budaya dan Aksi: Perspektif Kognitif. Nilai tidak selalu menopang terjadinya sebuah gerakan, namun kemampuan aktor dalam merumuskan nilai-nilai dan motivasi untuk beradaptasi dengan cara yang paling efesien untuk memobilisasi sektor tertentu (suatu gerakan muncul akibat proses berfikir dan adaptasi individu yang tidak terkungkung pada nilai-nilai tertentu). Dalam hal ini faktor nilai dikesampingkan, dan lebih berorientasi pada peran aktor yang berfikir.[14] Dalam organisasi gerakan sosial The Wahid Institue memiliki perspektif kognitif, yaitu kemampuan pendiri The Wahid Institute yang terdiri dari K.H Abdurrahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Suaedy yang ikut berperan sebagai motivasi untuk beradaptasi dengan lingkungan[15] dan dalam merumuskan nilai-nilai yang dianut oleh The Wahid Institute.
Frame dan Ideologi. Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjelaskan mentransformasikan mobiliasi potensial ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya meyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.[16] Dalam banyak kasus, frame berasal dari ideologi. Perbedaan antara ideologi dan frame tidak mencegah kita dari cara berfikir, frame mampu memberikan interpretasi yang luas dari realitas.[17]
            Gerakan kebebasan beragama Wahid Institute berpijak (mempunyai dasar) pada substansiasi fiqh pluralisme agama yang bersandar pada etika dan spiritualitas dengan fundamental yang telah digariskan oleh tujuan nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarĩ’ah). Ketika realitas sosial ditandai dengan keberagaman dalam pandangan keagamaan, toleransi kebebasan beragama sebagai bagian penciptaan perdamaian menjadi penting untuk menghindari penggunaan kekerasan yang berbasis perbedaan dengan pandangan keagamaan.[18]
Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif gerakan sosial[19], yaitu:
1.        Elemen Diagnistik. Frame interpretasi menimbulkan pendefinisian terhadap masalah sosial, dalam hal ini pendiagnosisan masalah merupakan elemen penting dalam memunculkan gerakan sosial. [20] Atau dengan kata lain, elemen diagnistik adalah aktor mendiagnosis  perubahan-perubahan yang terjadi (pendefinisian terhadap masalah sosial). Untuk organisasi gerakan sosial The Wahid Institute mempunyai elemen diagnistik yang diangkat dari banyaknya kasus di Indonesia mengenai diskriminasi pada agama, budaya, etnis dan gender, dan ingin mewujudkan kedamaian sehingga terbentuklah The Wahid Institute.
2.        Elemen Prognostik. Dalam perspektif ini, unsur politik relatif perifer dengan perbandingan untuk sikap kritis lainnya.[21] Menurut penulis, elemen prognistik dalam The Wahid Institute adalah bahwa KH. Abdurrahman Wahid memanfaatkan posisinya dalam dunia politik untuk membentuk organisasi gerakan sosial The Wahid Institute agar lebih mudah dikenal, dan lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia dengan memandang posisi politik KH> Abdurrahman Wahid.
3.        Elemen Motivasi. Elaborasi simbolik sangat penting untuk menghasilkan motivasi dan insentif yang diperlukan untuk tindakan. Hasil dan biaya bisa diketahui yang berkaitan dengan aksi kolektif, jika aktor yang melakukan aksi kolektif tersebut yakin bahwa tindakannya mempunyai kesempatan untuk memobilisasi, praktis, dan mempunyai legitimasi tindakan.[22] Aktor- aktor yang ikut berkampanye dalam acara-acara perdamaian dan toleransi beragama yang diadakan oleh The Wahid Institute kebanyakan dari koalisi-koalisi yang berkerja sama dengan The Wahid Institute. Contohnya adalah aktor koalisi dari Organisasi Pemberdaya Muda, Perkumpulan Pecinta Hewan[S3] , dengan secara sukarela meramaikan kampanye yang diadakan oleh The Wahid Institute.[23]
 Kebebasan Beragama Di Indonesia
Hukum untuk memiliki hak Kebebasan Beragama di Indonesia telah diatur dalam Undan-Undang Dasar tahun 1945 pada pasal 28E ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “ (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” [24]
Dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). [25] Tapi, tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa menurut The Wahid Institute menyatakan bahwa tidak kurang dari 21 diskriminasi agama yang masih terjadi di Indonesia, baik di pelosok hingga ke kota. Diskriminasi agama pada tahun 2015 menurut catatan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa The Wahid Institute, diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku non negara, namun dilakukan juga oleh pelaku negara.[26]
Peran The Wahid Institute dalam hal toleransi kebebasan beragama dan aksi kedamaian cukup membantu negara. Walaupun menurut Catatan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indonesia The Wahid Institute dapat beberapa kasus dimana pelaku Negara justru melakukan diskriminasi terhadap agama agama. Kampanye-kampanye, Forum, Diskusi serta Dialog yang dilakukan oleh The Wahid Institute juga membantu Negara untuk memberikan sosialisasi kepada masyrakatnya bahwa pentingnya untuk bertoleransi dalam kebebasan beragama serta aksi perdamaian.
Kesimpulan
            Berikut adalah 5 agama yang resmi di Indonesia yang tercatat dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).[27] Dalam ke-6 agama yang ada di Indonesia ini banyak terjadi kasus-kasus pendiskriminasian agama dikarenakan kurangnya rasa toleransi dalam hal kebebasan beragama.. Bahkan dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indoneisa menurut The Wahid Institute menyatakan bahwa tidak kurang dari 21 diskriminasi agama yang masih terjadi di Indonesia. Maka dari itu, di sini Gerakan Organisasi The Wahid Institute memiliki peran untuk mensosialisasikan kepada masyrakat Indonesia pentingnya toleransi kebebasan beragama dan kedamaian
            Aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam mendirikan The Wahid Institute adalah KH. Abrurahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, kemudian Yenny Zannuba Wahid Puteri kedua mendiang KH. Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Suaedy.
            Usaha-usaha The Wahid Institute dalam menjalankan organisasi gerakan sosial ini adalah dengan mengadakan Kampanye Islam Demokrasi Dan Pluralisme, Gerakan Kebhinekaan, pengadaan Pengembangan Kapasitas Muslim Progresif, melakukan Monitoring Isu Keagamaan, Advokasi Kebijakan Publik Dan Minoritas serta Forum Diskusi, Seminar Dan Dialog. Salah satu kampanye yang masih berjalan saat ini adalah Pawai dan Festival Perdamaian yang diadakan pada acara Car Free day, Sarinah – bundaran HI – Imam Bonjol dengan tema “The Right of Peoples To Peace”. Kegiatan yang ada dalam kampanye ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk memiliki rasa tolelir terhadap keyakinan beragama.[28] Aktor- aktor yang ikut berkampanye dalam acara-acara perdamaian dan toleransi beragama yang diadakan oleh The Wahid Institute kebanyakan dari koalisi-koalisi yang berkerja sama dengan The Wahid Institute. Contohnya adalah aktor koalisi dari Organisasi Pemberdaya Muda, Perkumpulan Pecinta Hewan, dengan secara sukarela meramaikan kampanye yang diadakan oleh The Wahid Institute.[29]


Daftar Pustaka
A Snow, David dan Robert D Benford. 1988. Internasional Social Movement Research 1.

Agna, Saepul. NIM 207032200624. 2013. The Wahid Institute Dan Gerakan Kebebasan Beragama Di Indonesia Perspektif Gerakan Sosial. FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Della Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing.

Marshal, Gordon. 1998. A dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.

Muhtadi, Burhanuddin . Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru.

Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Undang Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2

Hasil wawancara pribadi




[1] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[2] Gordon Marshal. 1998. A dictionary of Sociology. New York: Oxford University Press.
[3] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 140
[4] Ibid., hlm. 145-150
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Hasil wawancara pribadi
[12] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 67
[13] Hasil wawancara pribadi
[14] Donatella Della Porta dan Mario Diani. 2006. Social Movement an Introduction. USA: Blackwell Publishing. Hlm. 73
[15] Hal-hal yang berpotensi untuk mempengaruhi gerakan organisasi sosial
[16] Burhanuddin  Muhtadi. Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia: Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru. Hlm. 4
[17] Ibid., hlm. 74
[18] Saepul Agna. NIM 207032200624. 2013. The Wahid Institute Dan Gerakan Kebebasan Beragama Di Indonesia Perspektif Gerakan Sosial. FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[19] David A Snow dan Robert D Benford. 1988. Internasional Social Movement Research 1. Hlm. 197
[20] Ibid., hlm. 74-75
[21] Ibid., hlm. 77
[22] Ibid., hlm. 78-79
[23] Hasil wawancara pribadi
[24] Undang Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2
[25] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[27] Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
[28] Hasil wawancara pribadi
[29] Hasil wawancara pribadi

Pandangan Fungsionalisme dan Neo-Marxist terhadap Etnis

SHOFI MUTHIA SYAR'IE
1113111000032
SOSIOLOGI ETNISITAS
FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1.        Pandangan Fungsionalisme terhadap Etnis
Emile Durkheim
Emile Durkheim di lahirkan di Epinal, Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Ayanhnya adalah seorang pendeta Yahudi.  Durkheim sejak kecil sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus ayahnya yang sudah menjadi tradisi keluarga. Namun, harapan ayahnya tidak dapat terwujud, karena pada saat remaja ia di bawah pengaruh gurunya seorang penganut agama Katolik. Durkheim pun mempelajarinya dengan keras, tetapi ketertarikannya tersebut tidak sesuai dengan apa yang melekat pada diri Durkheim, agama Katolik pun ditinggalkannya dan pada akhirnya Durkheim menjadi seorang yang tidak mau tahu tentang agama (agnostik).[1]
Karya-karya Emile Durkheim yang merupakan empat buku klasik dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, adalah: De la Division du Travail Social: Etude Des Societes Superieurs, Les Regles de la Methode Sociologique, Le Suicide: Etude de Sociologie, dan buku keempat hasil karya Emile Durkheim adalah Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse: Le Systeme Totemique en.[2]
Emile Durkheim mencoba untuk menjelaskan berbagai hubungan teori sosiologi klasik dan etnik dengan melihatnya sebagai sebuah ikatan kekuatan budaya kolektif dan sifat dari solidaritas etnis itu sendiri. Bagi Durkheim, teori mengenai etnisitas sendiri dapat dilihat sebagai sebuah teori yang secara eksplisit dapat dinyatakan dan dianalisis, teteapi di sisi lain sebagian besar dari teori Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya mengenai masyarakat. Dalam hal ini, berbeda dengan berbeda dengan Marx, Durkheim menjelaskan teori etnik bukan sebagai sebuah konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya. [3]
            Dalam pembahasannya mengengai etnik, terlihat sangat jelas ketika Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial, dimana ia memandang masyarakat sebagai sebuah komponen yang berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim, masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik itu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.[4]
            Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam pembahasan mengenai solidaritas organik di sini Durkheim mencoba untuk memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya modernisasi obligasi komunitas etnis secara bertahap menurun dan mereka berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai budaya yang heterogen. Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun di atas tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada pengabdian yang sepenuhnya ditujukan kepada sesuatu yang sifatnya kemanusiaan (patriotisme dunia).[5]
2.        Pandangan Neo-Marxisme terhadap Etnis
Karl Marx
Karl Heinrich Marx, putra tertua dari pasangan Heinrich dan Henrieta Marx, dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, meninggal di LondonInggris14 Maret 1883 pada umur 64 tahun. Karl Heinrich Marxadalah seorang filsuf pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dai Prusia.[6]
Marx besar di kota Trier di Prussian Rhineland. Kedua orangtuanya berasal dari keluarga “Rabi” (taat agama). 1835-1841: (Pendidikan Formal) Setelah menyelesaikan SMA, marx sempat belajar sebentar di Universitas Bonn yang di lanjutkan di Universitas Berlin selama 5 tahun. 1842-1843: (Jurnalisme dan filsafat) selama periode ini Marx bekerja sebagai seorang wartawan dan kemudian mendapatkan promosi sebagai seorang editor untuk surat kabar Cologne,Rheinische Zeitung. Artikel-artikelnya memperlihatkan dirinya sebagai sosok pemikir liberal radikal. 1864-1872 (konferensi kaum buruh internasional) di dalam kongres kaum buruh internasional, sebuah organisasi serikat buruh seluruh eropa, marx memainkan peran sebagai lokomotif faktanya di tangan marxlah masa depan kaum buruh dipertaruhkan. 1873-1883 (tahun-tahun terakhir) tahun-tahun terakhir kehidupan marx di tandai oleh kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Dia menaruh minat kepada sejarah dan masyarakat rusia dan menjalin korespondensi dengan para sosialis rusia tentang strategi-strategi yang tepat untuk meletuskan suatu revolusi di Negara-negara yang jauh dan belum tersentuh oleh kapitalisme.[7]
Bagi kalangan Neo-Marxis, konflik antarkelas merupakan proses dialektis penting dalam mendorong perkembangan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa kalangan Neo-Marxis ini mengabaikan konflik-konflik lain dalam masyarakat, seperti konflik etnis, agama maupun rasial. Tetapi konflik-konflik ini, menurut keyakinan mereka, langsung maupun tidak, berasal dari hubungan erat dengan konflik kelas.[8]
Terdapat tiga konsepsi tematik yang sangat berhubungan dengan teori Marx tentang etnisitas, yaitu[9]:
1.      Keunggulan berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnis. Prinsip penuntun dari teori Marxis adalah konflik kelas. Ekonomi dipandang menjadi dasar utama perubahan sosial dan struktur sosial, sementara budaya dan ide-ide secara umum dilihat sebagai “superstruktur”, kebebasan tersebut ditentukan oleh basis ekonomi. Dalam pandangan ini, etnisitas termasuk dalam lingkup suprastruktur.
2.      Kekhasan suatu etnis sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari unsur kemanusiaan secara keseluruhan. Dalam teori Marx tentang etnis yang berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan untuk sebagian besar dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat menuju kebabasan tanpa batas.
3.      Naiknya sejarah kelas dan identitas etika. Marx akhirnya percaya bahwa solidaritas kelas akhirnya akan menang atas obligasi etnis. Teorinya adalah perjuangan kelas yang tergabung melalui suatu pandangan yang sama bahwa pengembangan kesadaran kelas ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dan bahwa dalam jangka panjang pekerja akan menggeser loyalitas mereka dari etnis ke kelas.
Pemikiran Neo-marxian: Ketimpangan ekonomi dan politik
Oliver cox merupakan tokoh pertama yang cukup baik melakukan analisa dan artikulasi pemikiran marx mengenai etnisitas. Menurutnya eksploitasi tidak hanya berasa dari satu perbedaan distribusi modal antar kelas namun dapat dihasilkan dari relasi antar ras, konteks yang terbangun saat itu yaitu kondisi US yang didominasi politik ras. Relasi sifatnya tidak universal, namun terkait dengan spesifik konteks ruang dan waktu, proses asal mula dan kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan. Dalam konteks ini maka kebutuhan dari kapitalis yaitu tenaga kerja murah demi kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan , mekanisme ekspansi kapitalis dilakukan antara lain melalui kolonialism dan pembentukan Negara-negara baru. Perbedaan secara fisik dan kultur antara pekerja kulit hitam dan putih dipertahankan bagi kepentingan kapitalis dan bisnis besar yang menjaga kesenjangan antar etnis. Kebencian dan amarah kelompok etnis yang dieksploitasi disebut dengan racial antagonism yang menjadi bagian dari pergerakan kelas. Pemikiran Cox sangat mengikuti pemikiran marx dalam menggambarkan kepentingan kapitalis dalam hal ekonomi yang berlanjut untuk mendapatkan kekuasaan penuh melalui penguasaan secara politik. Bahwa etnik tertentu (kulit putih) mendapatkan posisi privileged  dalam struktur dan kultur di masyarakat.kritik terhadap Cox yaitu tidak mampu menjelaskan variasi bentuk relasi etnis. Edna Bonacich  melakukan interpretasi Neomarxian yang berbeda dengan konsep utama Split labour-teori pasar. Menurutnya dalam kelas pekerja etnis tidak homogen melainkan multietnis yang memiliki interest, kepentingan yang berbeda-beda antar etnis yang justru mendukung ideology pasar terbuka. Hal ini berkaitan dengan pembagian kelas yang didasarkan pada kelompok kepentingan yaitu kelompok pengusaha bisnis, kelas menengah sebagai konsumen utama dan kelas pekerja dengan upah rendah.  Kompleksitas hubungan antara pengusaha dan kelas pekerja tidak dapat dihindarkan karena dengan upah rendah akan meningkatkan pengusaha dan membahayakan bagi kelas menengah atau better paid. Sumber penting terjadinya perbedaan interest kelompok pekerja yaitu harga atau upah tenaga kerja itu sendiri. Konflik yang terjadi bukan karena dua kelompok yang dominan melainkan kelompok-kelompok sama namun memiliki interest yang berbeda. [10]
Michael Hechter, melihat kekurangan penjelasan Edna yang tidak melihat pembagian kerja lebih komperensif, tema yang diangkatnya mengenai solidaritas pekerja merupakan reaksi dari perbedaan secara kultur untuk melawan eksploitasi kekuasaan ekonomi dan  politik. Teori internal kolonialism memiliki argumentasi perbedaan kultur mengarah pada pentingnya politik ketika terjadi ketidakseragaman pembangunan ekonomi khususnya proses indutrialisasi di Negara-negara dunia ketiga. Perbedaan kultur tenaga kerja berkaitan dengan Negara di Negara dunia, karena bagi tipe industry membuthkan unskilled labour yang mudah diperoleh di Negara-neara yang baru terbentuk dalam masa berkembang. Ketimpangan menjadi kata kunci dalam menciptakan konflik etnik, fokusnya tidak hanya etnis dalam satu Negara melainkan antar Negara.[11]
Culture, Class and Hegemony: the Gramscian legacy
            Marxian klasik melihat etnisistas sebagai sesuatu yang di konstruksikan dan  berupa gagasan di dalam setiap fase sejarah kehidupan manusia. Di dalam tradisi mereka, modes of production merupakan hal yang penting dan menjadikannya dasar dari kehidupan manusia. Hal tersebut terkesan sebagai pendekatan yang determinis ekonomi. Antonio Gramsci, marxsis Italia, melihat masyarakat kapitalis lebih pada budaya dibandingkan ekonomi. Menurut Gramsci,  di dalam dunia kapitalisme, terdapat hal penting dibandingkan ekonomi, yaitu budaya dan hegemoni ideologi.[12]
Saat kebanyakan landasan neo-Marxism masih berakar dengan kuat pada warisan pemikiran klasik dalam menjelaskan hubungan etnik dalam ekonomi dan kelas, pemikiran neo-Marxism yang berusaha bergeser dari pemikiran klasiknya bisa menjelaskannya. Neo-Marxism secara tepat menjelaskan mengenai hubungan antara etnisitas dan ketimpangan kelas. Dalam ekonomi kapitalis modern, sangat mungkin seseorang mengidentifikasi sebuah overlap yang hebat antara kelas dan kelompok sosial. di Amerika Utara, Australia dan Eropa Barat, kita bisa dengan mudah melihat hal ini. Division of labour yang didasari etnik banyak terjadi, misalnya, secara kultural, kelompok imigran menempati proporsi yang besar dalam persentase profesi yang unskilled maupun lower skilled. Dalam kondisi ini, seorang pengusaha yang memiliki kekuasaan tinggi bisa memanipulasi perbedaan kultural dengan tujuan untuk membagi, atau mengeksploitasi pekerja.[13]
Weber dan Rex menjelaskan, etnisitas bisa menjadi overlap dengan status, kasta, maupun kepemilikan tanah. Afrika Selatan contohnya, masa apartheid dibentuk oleh dominasi kelompok etnik atas kasta. Dari sini, terlihat bahwa Marx dan Cox mereduksi etnisitas menjadi kelas, disini terjadi dua kesalahan, yaitu reduksionisme kelas, dan absolutisme kelas. Ketika neo-Marxist tidak mereduksi etnisitas menjadi kelas, mereka tetap harus memelihara keunggulan kelas dan produksi relasi dalam penjelasannya mengenai tindakan kelompok etnik.[14]
Marxisme melihat kelompok etnik sebagai sebuah produk buatan yang besar dari ekonomi kapitalis. Walaupun para pengusaha memiliki kepentingan dalam menggolongkan kelas pekerja melalui prinsip pemisahan dan pemberian aturan, adalah sebuah argumen struktural bahwa kapitalisme menentukan ketidakadilan kelompok. Kapitalisme berakar dari proses produksi, dimana kepentingannya hanyalah akumulasi keuntungan melalui peningkatan nilai-nilai keuntungan dengan melakukan eksploitasi kelas pekerja dan pertukaran komoditi. Berdasarkan pemikiran marxist, proses seperti ini menciptakan sebuah kelas yang benar-benar berlawanan. Ketika kelompok subordinat menjadi tidak peduli dengan posisi mereka yang tidak menguntungkan dan karena sifat yang eksploitatif dari sistem kapitalis, kelompok yang subordinat ini menjadi kekurangan kesadaran kelas mereka, karena kondisi hegemoni dari kapitalis.[15]


Daftar Pustaka
Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl Marx.Surabaya:Pustaka Promethea.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 85

Elster,Jon.1986.Karl Marx ”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya.

Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu.

Ritzer, George. Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory. New York: McGraw- Hill.

Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications.



[1] Samuel, Hanneman. 2010. EMILE DURKHEIM: Riwayat, Pemikiran, Dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Depok :Kepik Ungu. Hlm. 14
[2] George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory. New York: Mcgraw- Hill. Hlm. 79
[3] Ibid., Hlm. 130
[4] Ibid., Hlm. 130
[5] Ibid., Hlm. 131-132
[6] Berlin,Isaiah.2000.Biografi Karl Marx.Surabaya:Pustaka Promethea. Hlm. 35
[7] Jon Elster. 1986. Karl Marx ”Marxisme-Analisis Kritis”.Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya.
[8] Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 85
[9] Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications. Hlm. 137-138
[10] Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications. Hlm.
[11] Ibid., Hlm.
[12] Ibid., Hlm.
[13] Ibid., Hlm.
[14] Ibid., Hlm.
[15] Ibid., Hlm.

Info sponsorship


Semoga berguna

 infoSPONSORSHIP

1. Unilever (Pak Heru Prabowo) 08129527058

2.Bank BNI (Pak Gatot)
081196687

3. Acer (Pak Donald) 08567565437

4. Air Asia (Bu Yanti)
021-30405390

5. Indosat (Bu Venty) 08151688000

6. Mayora (Bu Diah)
021-5655319

7. Aqua
021-94053735

8. XL (Bu Roseyanti) 0818719355

9. Smart (Pak Titon Wahyu)
0881211488

10. Bolpoin Standart (Pak Woro) 021-2313247

11. BCA Prioritas (Pak Yudi Darmadi) 08121070402

12. Nutrifood (Laode Hartanto) 08889115215

13. Esia (Pak Irshad) 081380901089

14. Sony Music (Pak Toto)
0818130132

15. Danone (Pak Adrian)
0817139228

16. Bank Niaga
Ibu Riesa 081808400488

17. Kratingdaeng Bp Jhony 08568195658

18. BCA
Ibu Wike
0812835180

19. Flexi (Pak Firdaus) 021-70733800

20. Honda (Pak Rofiai) 021-6510403

21. Panasonic (Bu Josephine) 021-8090108

22. Nissan 021-8582323

23. Jack&Jill (Pak Bernard) 085921213151

24. Kalbe Nutritionals (Luhur) 08159067856

25. Sidomuncul 021-7653535

26. Mustika Ratu (Bu Lena)
021-87703685

27. Bakrie (Bu Rina)
0816730991

28. Ultra Milk (Pak Deni)
08176875501

29. Sosro (Pak Rahmat) 021-93173113

30. Walls (Pak Sugi)
081311430020

31. Nestle (Pak Vikko Wira)
0811412312

32. Campfood (Pak Wawan)
0818816590

33. Satelindo (Pak Didi Korompis) 0816108108

34. Indofood 021-57958822

35. Milo (Pak Irvan) 08567272196

36. Gramedia (Bu Rita)
021-75483800

37. Coca Cola (Pak Gery)
08567066533

38. Pocari Sweat (Pak Nofriandi) 021-7697475

39. HiLo Teen 021-46829451

40. RCTI (Pak Wahyu Ramadan) 08112225678

41. Trans 7
(Batara Anggasani) 08129630205

42. Astra (Pak Didin)
08161352569

Mahasiswa punya acara, butuh sponsor?
Ada link sponsor nih, dicoba yaaa semoga bisa bantu buat acara kedepan.

Garuda Indonesia: Kirim email proposal sosialmedia@garuda-indonesia.com

Teh Pucuk Harum: Kirim proposal ke Mayora Jl. Daan Mogot KM. 18 Kalideres, Jakarta Barat

BRI: Kirim proposal ev

28 December

28 desember.
Whaaaaaaaaaaa ga terasa gue udh pacaran satu tahun sama uyo buncit >.< senangnyaaaa:> harus gue akui, ternyata pacaran itu ga semudah apa yg gue bayangkan selama ini. Hmmmm jujur, sebelumnya gue ga pernah pacaran. Bahkan ga kepikiran untuk pacaran. Awalnya, karena gue keseringan nonton FTV makanya gue rada ga percaya kalau bakalan ada orang lawan jenis yg bakalan suka sama suka. Watashi bakana:$ ya maklum, dulu gue orangnya polos:>
Okay back to the topic. Di Anniversarry gue 1tahun ini, uyo ngajakin gue ke puncak untuk ngeliat sunset (whaaaaaa romantisnyaaa:>). Awalnya sih dia cuma bilang mau ngajakin ke sesuatu tempat hari sabtu nanti, tp karna gue penasaran makanya gue tanyain terus hari sabtu kita mau kemana. Dan akhirnya (mungkin ga tahan karena gue bawel, hahahaha X)) dia bilang mau ngajakin gue ke puncak buat ngeliat sunset di paralayang. Hahahaha. Baka. Jadi ga surprise deh. Tapi gapapa, gue tetep seneeeeenggggggg banget deh. Walaupun sebenernya gue ga liat sunset-_-
Berangkat dari siang jam 2. Sampe sono kira-kira jam 4 sore, kita makan dulu buat ngabisin waktu. Dan asal kalian tau, dari awal berangkat sampe udah sampe puncak tuh gerimis terus. Jadinya di sana makin dingin T.T udah gitu mendung terus, sunsetnya ga keliatan:( dan karena kita kedinginan, akhirnya milih pulang aja, sekalian takut kemaleman juga. Awalnya sih perjalan pulang biasa-biasa aja, walapun masih tetep gerimis dan tetep dinginT.T sampe pada akhirnya matahari mulai tenggelam, jalanan mulai gelap, dan untuk jalan yg kita lewatin tuh jarang ada lampunya, ditambah lagi jalanannya ancur berlubang, becek dan licin karena seharian ujang terus, udah gitu pengendara yg lewat situ sedikit banget!! Suasananya mencekam banget kalau gue inget-inget:$ di saat gelap-gelap gitu, cuma bisa ngandelin lampu tembak dr motor. Ga berapa lama kemudian, kita nemu ada pengendara motor jauh di depan kita, trus spontan uyo tambah ngebut buat ngejar motor depan, katanya "biar ada yg buka jalan".
Dan kalian tau ga sih rasanya naik motor dengan kecepatan tinggi, jalanan becek dan berlubang, trus banyak banget belokannya? Sumpah gue deg-degan abis. Berasa mau copot nih jantung. Tapi gue ga bilang ke uyo kalau gue takut, gue tutupin rasa takut gue dengan mencoba ngobrol dan cerita cerita. Lumayan efektif walaupun gue tetep pegangan kenceng sama uyo. Hehehe.
Udah ya sampe sini dulu ceritanya, gue udah ngantuk. Inti dari cerita ini sih sebenernya cuma mau ngasih tau, Aku sayang banget sama uyo♥ sayangsayangsayang♥ love you so much dear:* makasih banyak ya udah ngasih banyak banget pengalaman di kehidupan aku. Udah ngasih banyak warna di kehidupan aku. Makasih juga selama ini udah mau aku repotin, walaupun aku galak, tukang ngambek, ngeselin, suka iseng, cengeng, manja, tapi kamu tetep mau sayang sama aku. Makasih banyak dear:* semoga aku masih bisa ngerasain anniversarry selanjutnya, selanjutnya, selanjutnya, selanjutnya, dan seterusnya sama kamu♥ i love you:*({})
Btw aku masih penasaran sama sunsetnya:p kapan-kapan ke sana lagi yah;p

Benda Peninggalan Bersejarah di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Garut


Candi Cangkuang
Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harosoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Voderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu besar yang merupakan peninggalan agama Hindu, kira-kira pada abad ke-8 Masehi.
            Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7x4,7 m dengan tinggi 30cm. kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5x4,5 m dengan tinggi 1,37m. di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lebar 1,26m. tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22x4,22m dengan tinggi 2,49m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8x3,8m dengan tinggi 1,56 dan 2,74x2,74 m yang tingginya 1,1m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 3,8x3,8 m dengan tingginya 2,55m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4x0,4m yang dalamnya 7m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).
            Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang yang datar alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan   kaki kiri terdapat kepala kerbau (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah Arca Siwa. Kedua tangannya mengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada, dan penghias telinga. Keadaan arca ini umumnya sudah rusak, wajahya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. [1]
Dari sini sedikitnya dapat diambil kesimpulan apabila agama yang dianut oleh masyarakat pada abad ke VIII berdasarkan hitungan arkeometrik tentang usia candi adalah beragama hindu bermadzhabkan siwa. Arca itu sendiri memiliki ketinggian 40 cm, namun setelah alas kaki dari arca tersebut di semen agar menyatu dengan lantai ruangan, maka tinggi arca karena alas an semen itu menjadi sekitar 60 cm. Di bawah arca tersebut terdapat sebuat sumur dengan kedalaman antara 5-7 m. Sumur tersebut sebagaimana halnya fungsi candi-candi pada jaman dahulu adalah untuk menguburkan abu jenazah pembesar kerajaan. Sayangnya arca yang juga berbahan baku batuan andesit itu kini sudah sedikit rusak, terhitung empat kali sejak pemugaran pernah patah bahkan mengakibatkan kedua lengan arca yang patah hilang tanpa jejak.
Maka untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pada 1999 mulai digunakan jeruji besi di pintu masuk sehingga orang tidak lagi bias masuk keruangan Candi Cangkuang pun untuk menyentuh arca tersebut. Ini menjadikan candi cangkuang sebagai satu-satunya bangunan candi yang memiliki jeruji besi.[2]

Kertas daulang
Daluang adalah kain atau kertas dari kulit pohon-pohonan.[3] Daulang mungkin belum dikenal sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal daluang telah menjadi barang yang diminati negara lain.Bahkan harga daluang sangat tinggi karena kekuatannya yang bisa mencapai ratusan tahun. Di museum Situ Cangkuang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, setiap pengunjung akan diberi tahu cara membuat daluang.
Daluang pasti masih asing terdengar. Daluang, atau dluwang dalam bahasa Jawa, merupakan kertas yang berasal dari pohon saeh. Naskah-naskah kuno seperti Alquran dan naskah khutbah Idulfitri yang berada di museum Situ Cangkuang menggunakan daluang sebagai bahan bakunya. Naskah yang sudah berumur ratusan tahun tersebut hingga kini masih terjaga keasriannya. Bahkan tulisan di daluang masih bisa terbaca.

Pohon yang tak bercabang dengan diameter tak lebih dari 20 sentimeter itu diambil bagian kulitnya untuk dijadikan bahan kertas. Koordinator juru pelihara Situ Cangkuang, Zaki Munawar, mengatakan, pohon saeh yang bisa menjadi bahan baku kertas biasanya yang telah berumur satu sampai dua tahun. Jika pohon terlalu tua, akan sulit untuk dijadikan kertas. “Orang dari Amerika dan Jepang banyak yang memesan daluang ini. Soalnya kekuatan kertasnya lebih bagus daripada kertas pada umumnya. Kertas nasional Nusantara daluang ini memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuatnya,” ujar Zaki di site museum Situ Cangkuang, Senin (2/6).

Proses pembuatan daluang masih dilakukan secara tradisional. Jika memerlukan kertas dengan ukuran 30 sentimeter, pohon saeh yang digunakan pun berukuran 30 sentimeter. Sebelum diambil bagian kulitnya, pohon saeh terlebih dahulu direndam selama tiga hari. “Setelah direndam lalu dipukul-pukul hingga melebar menjadi kertas. Nantinya pohon yang sudah dipukul-pukul itu harus direndam kembali dengan dibungkus daun pisang selama empat sampai enam hari untuk menutup bagian kertas yang bolong,” katanya.[4]

 Kitab doa selamat
Naskah Ini menggunakan alas tulis daulang dan menggunakan aksara Arab dan Pegon. Kitab ini berisikan tentang

Makam embah dalem Arif Muhammad
Candi Cangkuang dibangun pada zaman kerajaan Sunda pertama yaitu Kerajaan Galuh. Di dekat candi ada makam peninggalan penganut agama Islam, yaitu Arief Muhammad/Maulana Ifdil Hanafi. Dia salah seorang tentara kerajaan Mataram dari Jawa Tengah yang pergi menyerang belanda di Batavia pada abad ke 17. Penyerangannya gagal, dia tidak kembali, tapi menetap di Cangkuang mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitarnya, tepatnya di kampung Pulo tempat keturunannya menetap sampai saat ini.[5]

 Naskah Al-Qur’an
Salah satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x 33 cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak memiliki penomoran halaman. Al-Quran yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua warna tinta, yaitu hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut Jiji Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat buah manggis. Namun Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz. Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12 kuras dan memiliki 143 halaman.
Naskah berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya penuh lubang kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya tidak terbaca. Hal tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang, termasuk Al-Quran ini, masih belum dirawat secara intensif. Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.[6] 

Naskah Tauhid
Naskah ini berjudul “Tauhid dan Fiqh” dengan menggunakan bahasa dan aksara arab. Ukuran naskah ini 30cm x 24cm dan mempunyai ukuran teks 20cm x 14cm serta memiliki ketebalan yaitu 98 halaman. Naskah ini sama dengan naskah yang sebelumnya, menggunakan kertas daulang dan saat ini di simpan di museum Candi Cangkuang, Garut. Keadaan fisik naskah ini juga bolong-bolong, sebagian teksnya tidak terbaca, serta jilidnya terlepas. Naskah ini mempunyai ikhtisar isi sebagai berikut, yaitu menjelaskan tentang beberapa pengertian kata iman dan rukun iman. Pada bab lain dijelaskan tata cara melaksanakan ibadah  shalat, puasa dan haji. [7]

Naskah Sharaf
Naskah ini berjudul “Nahwu san Sharaf” yang menggunakan bahasa dan aksara Arab dan Pentagon. Naskah ini mempunyai ukuran 23cm x 15cm dengan ukuran teks 15cm x 9cm dan mempunyai tebal naskah sebanyak 33 halaman. Bahan naskah tersebut berasal dari kertas daulang. Sampai saat ini, naskah ”Nahwu san Sharaf” ini di simpan di museum Candi Cangkuang, lebih tepatnya letak museum tersebut adalah kurang lebih 5 meter dari Candi Cangkuang. Keadaan naskah saat ini kertasnya bolong-bolong, kemudian sebagian teksnya tidak terbaca dan jilidnya lepas. Dan yang terakhir Ikhtisar isi naskah ini adalah tentang uraian tentang shigat, pembagian isim, kata kerja, dan huruf.[8]

Rumah Adat dan Masjid
Salah satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan di Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal ketujuh anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara. Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang berhadapan dengan halaman luas yang membelah deretan rumah tersebut. Setiap rumah memiliki ruangan yang sama: serambi, satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.
Kini, ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai anak laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah keturunan Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.
Keunikan lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut. Setiap rumah hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga. Artinya, apabila ada anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka ia harus segera meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua minggu. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal.


[1]  Mengenal Candi-candi Nusantara, Thomas Wendoris, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2008 hlm. 15-16
[3] KBBI
[4] https://id.berita.yahoo.com/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-094406076.html.
[5] http://ramadan.liputan6.com/read/636847/cangkuang-candi-hindu-dengan-makam-pemuka-islam-di-dekatnya
[6] http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/07/daluang-banyak-diminati-turis-asing-dari-jepang-dan-amerika
[7] http://bsa.uinsgd.ac.id/?p=84
[8] Ibid,.